Roma DP
Malam sudah sangat
pekat ketika tubuhmu mulai menghilang dari pandanganku. Mataku tak
henti-hentinya memandangi arah di mana kau menghilang di telan
kegelapan. Meski semilir angin malam begitu menyengat, namun aku tetap
berdiri mematung, berharap wajahmu akan muncul tiba-tiba di hadapanku.
Yah, walau kutahu itu tak mungkin.
Kabut putih mulai mengaburkan pandangan, tapi bayangmu masih tertangkap jelas oleh mataku. Suaramu masih berdengung di telinga, sejelas saat terakhir kau bisikkan rayuan padaku, beberapa menit lalu. Aku harap kepergianmu hanya sementara, aku harap kekhawatiranku tak menjadi nyata. Tak mungkin aku bisa begitu saja beralih pada hati yang lain. Meski kutahu, di hatimu tak hanya ada aku, tapi aku terlanjur menanamkan cintaku. Semakin hari semakin menancap kuat. Aku yakin, cintaku telah berhenti di kamu. Tak mungkin begitu saja kurela melepasmu.
*Masih Ada Aku*
Roma DP
Kabut putih mulai mengaburkan pandangan, tapi bayangmu masih tertangkap jelas oleh mataku. Suaramu masih berdengung di telinga, sejelas saat terakhir kau bisikkan rayuan padaku, beberapa menit lalu. Aku harap kepergianmu hanya sementara, aku harap kekhawatiranku tak menjadi nyata. Tak mungkin aku bisa begitu saja beralih pada hati yang lain. Meski kutahu, di hatimu tak hanya ada aku, tapi aku terlanjur menanamkan cintaku. Semakin hari semakin menancap kuat. Aku yakin, cintaku telah berhenti di kamu. Tak mungkin begitu saja kurela melepasmu.
*Masih Ada Aku*
Roma DP
Secangkir teh yang
kubawakan tadi masih belum berkurang. Jangankan meminumnya, sepertinya
matamu pun enggan meliriknya. Kedua bola mata itu masih menatap kosong
pada hamparan alam khayal di hadapmu. Entah apa yang kau cari. Kau telah
tenggelam dalam duniamu sendiri, tanpa menghiraukan aku yang sedari
tadi menggenggam erat kedua tanganmu. Berharap butir-butir air mata itu
tak lagi membasahi pipimu yang putih bersih. Namun kau tak
menghiraukan, kau telah asyik bercengkerama dengan kesedihanmu.
“Aku ada di sini, kau tak sendiri,” ucapku lirih. Sayang, kau tak pernah mau mendengar.
Linangan air matamu masih saja membanjir. Aku tahu, apa yang menimpamu bukanlah sesuatu yang mudah. Kau tertekan. Tapi, apa kau tahu, aku lebih tertekan melihatmu seperti itu. Jika kau mau, aku rela memberikan kedua kakiku untukmu. Aku rela menggantikanmu.
“Apa yang kau takutkan? Bukankah aku sudah berjanji akan setia padamu, apapun yang terjadi?” Kau masih saja membatu.
“Genggamlah tanganku, kuatkan hatimu. Hidupmu belum berakhir, masih banyak yang bisa kaulakukan walau tanpa kedua kakimu yang dulu. Ingat, aku selalu ada untukmu." Tak terasa, butiran-butiran air hangat pun ikut membasahi pipiku. Kelu.
“Aku ada di sini, kau tak sendiri,” ucapku lirih. Sayang, kau tak pernah mau mendengar.
Linangan air matamu masih saja membanjir. Aku tahu, apa yang menimpamu bukanlah sesuatu yang mudah. Kau tertekan. Tapi, apa kau tahu, aku lebih tertekan melihatmu seperti itu. Jika kau mau, aku rela memberikan kedua kakiku untukmu. Aku rela menggantikanmu.
“Apa yang kau takutkan? Bukankah aku sudah berjanji akan setia padamu, apapun yang terjadi?” Kau masih saja membatu.
“Genggamlah tanganku, kuatkan hatimu. Hidupmu belum berakhir, masih banyak yang bisa kaulakukan walau tanpa kedua kakimu yang dulu. Ingat, aku selalu ada untukmu." Tak terasa, butiran-butiran air hangat pun ikut membasahi pipiku. Kelu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar