Social Icons

Senin, 17 Desember 2012

-Bidadari dalam Cermin-




Malam ini rembulan begitu mempesona. Bumi bersorak gembira menyambutnya. Begitupun aku, yang diam-diam menyimpan kebahagiaan yang membuncah dalam dada. Aku melihat rembulan yang seakan tersenyum padaku, mengatakan bahwa ia merestuiku. Aku mengangguk perlahan padanya, lalu buru-buru masuk ke kamar dan menemui kekasihku.

Oh, dia sudah duduk manis di sana. Malam ini dia terlihat sangat cantik. Wajahnya seterang rembulan yang saat ini bersinar dengan indahnya. Kedua matanya mampu menenggelamkanku dalam perasaan yang begitu dalam. Sedang bibirnya semerah mawar, hingga aku dapat mencium wanginya kala kudekati. Kutatap lekat wajahnya, ada gelombang dalam dada yang mampu menggoncangkan seluruh jiwaku. Aku telah terperangkap dalam dunia yang entah bernama apa. Hanya ada kami berdua, aku dan dia.

"Kau begitu cantik malam ini," bisikku perlahan. Sengaja kukecilkan suaraku agar orang rumah tak mendengar. Aku tak mau kalau sampai mereka tahu aku menyimpan bidadari dalam kamarku.

"Ingin rasanya aku mengajakmu keluar malam ini. Kita melihat bulan yang cantik, juga merasakan semilir angin yang sejuk. Kau pasti senang," bisikku lagi. Namun, dia hanya tersenyum memandangiku. Sepertinya dia masih malu-malu, walau ini sudah malam kesekian aku menemaninya.

Aku semakin terpesona ketika wajahnya mulai memerah. Inilah kecantikan luar biasa yang pernah kulihat. Ini juga yang membuatku jatuh cinta saat pertama kali melihatnya, beberapa hari yang lalu. Selama ini aku tak percaya dengan yang namanya bidadari. Namun, saat menemukannya, barulah aku  percaya. Saat itu aku mengira dia adalah Nawang Wulan yang kehilangan selendangnya sehingga tak bisa lagi kembali ke khayangan. Aku berharap menjadi Jaka Tarub yang menemukan selendang dan memperistrinya, tapi aku tak ingin jika kelak ia menemukan selendangnya dia akan meninggalkanku dan kembali ke asalnya. Aku tak ingin itu semua terjadi. Jadi, jika benar dia Nawang Wulan, akan kucari selendangnya sampai ketemu, lalu kubakar selendang itu hingga ia tak bisa lagi kembali. Ah, pikiran jahat itu muncul begitu saja, mungkin aku yang terlalu mencintainya hingga tak ingin dia terlepas begitu saja.

Aku, lelaki yang tak pernah mengenal cinta tiba-tiba saja tunduk pada perempuan yang kini berada tepat di hadapanku dengan senyumnya yang menawan. Entah racun apa yang sudah dia masukkan ke dalam makananku sehingga aku begitu tergila-gila padanya. Atau jangan-jangan dia memakai semacam pelet yang mampu membuat orang yang memandangnya menjadi jatuh cinta. Aku sering melihat hal seperti itu di film-film. Apapun yang dia lakukan, aku tak peduli. Aku tetap mencintainya.

"Sayang, malam ini sangat romantis. Aku tak ingin malam ini segera berakhir. Aku masih ingin memandangmu. Apa kau tak keberatan menemaniku sampai esok pagi?" Tanyaku penuh harap.

Dia mengangguk. Aku melonjak girang. Meski tanpa sepatah katapun itu cukup membuatku terbang. Aku begitu bahagia malam ini. Rembulan pun mendukung dengan cahayanya yang mampu menembus jendela kamarku. Aku terus memandanginya. Wajahnya begitu teduh dan menyejukkan. Benar-benar layak jika kupanggil dia bidadari. Ya, bidadari yang sengaja langit turunkan untuk menemaniku.

“Sepertinya tak hanya malam ini saja. Apa besok kau juga mau menemaniku sampai pagi lagi?” Dia berhenti tersenyum. Raut wajahnya berubah seketika. Matanya menatap sayu padaku.

“Kenapa? Apa kau tak mau menemaniku?” Kecewa tersirat dalam setiap tanyaku.

“Oh, ya mungkin kau lelah menemaniku setiap hari ya? Tak apalah, kapan saja kau datang aku akan menunggumu di sini,” kataku sembari tersenyum, berharap ia juga kembali tersenyum seperti semula. Aku sungguh tak rela kehilangan senyum itu malam ini. Senyum yang mampu meruntuhkan setiap gunung egoku, memadamkan setiap kobaran amarahku.

***

Mataku mengerjap-ngerjap, silau oleh cahaya matahari yang melewati jendela yang semalam lupa kututup.

“Sial, lagi-lagi aku ketiduran,” rutukku. Kutegakkan posisi dudukku.

“Ah, dia sudah pergi. Padahal semalam aku yang menyuruhnya menemaniku sampai pagi.” Aku sedikit kesal.
Aku buru-buru menuju kamar mandi dan bersiap-siap. Hari ini ada kuliah pagi dan mungkin akan pulang agak larut lagi. Memang hari-hari yang sangat melelahkan. Andai saja tak ada bidadari itu, mungkin aku sudah depresi. Sebelum melangkah keluar kamar kusempatkan melirik tempat bertemu bidadariku semalam. “Apa malam ini kau akan datang lagi?” Batinku. Perlahan kututup pintu kamar, ada sedikit ketidakrelaan meninggalkan kamar.

“Bagaimana kalau siang ini dia datang lagi? Bagaimana kalau dia tak menemukanku di sana?” tanyaku dalam hati. Sedetik kemudian pikiranku tegas membantah, “Ah, tak mungkin. Dia hanya akan datang malam hari.” Aku berjalan santai ke kampus sembari berharap malam segera menjelang, agar aku bisa lekas menemui bidadariku lagi.

***
Senja memerah di ufuk barat. Aku menyiapkan secangkir kopi dan sebatang rokok yang telah mengepul dintara telunjuk dan jari tengah. Aku menunggu rembulan kembali muncul membawa bidadari ke hadapanku malam ini. Rasanya tak sabar ingin membagi cerita sepanjang hari ini padanya. Pasti ia akan tersenyum, bahkan tertawa senang mendengarnya.

Langit mulai gelap. Samar sinar rembulan tampak pucat. Belum juga ada tanda-tanda bidadariku itu datang. Memang aku yang terlalu awal menunggunya, biasanya ia akan datang jika langit telah benar-benar gelap. Lama aku menunggu, satu jam, dua jam, hampir tiga jam bidadariku belum tampak juga. Padahal mataku sudah semakin berat. Akhirnya aku terlelap sebelum sempat kulihat bidadari itu menyapaku.

Pukul dua belas malam, aku terkesiap. Tiba-tiba saja terbangun dari tidurku. Aku mendongakkan kepala, kudapati seulas senyum manis di hadapanku. Langsung kutegakkan posisi dudukku.

“Maaf, aku ketiduran,” kusapa dia dengan malu-malu. Seperti biasa, dia hanya terseyum memandangku. Seperti biasa pula aku cukup senang dengan reaksinya itu.

“Apa kau tadi lama menungguku?” Tanyaku. Aku merasa tak enak membiarkannya menunggu. Namun, dia hanya menggelengkan kepalanya –masih dengan senyum.

“Syukurlah, aku kira kau tak akan datang malam ini ....” Aku senang menemuinya kembali malam ini. Malam ini sungguh indah, kulewati dengan bidadari cantik di hadapanku. Berbagai cerita tentang hari-hariku mengalir begitu saja, hingga tak kusadari mata sayu itu kembali menghiasi wajah sang bidadari.

“Kamu kenapa lagi? Apa ceritaku membosankan?” Tanyaku penuh khawatir. Dia menggeleng perlahan.

“Lalu kenapa raut wajahmu tiba-tiba begitu berubah?” Dia hanya terdiam menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Ada sirat kesedihan yang begitu mendalam terpancar dari matanya, namun bibirnya tetap terkatup rapat. Aku tak bisa memahami dirinya saat ini.

Kami hanya terdiam selama beberapa jam menjelang pagi. Aku terus memandanginya, berharap kali ini mau mengecapkan satu kata padaku. Namun sayang, ia tetap pada dirinya, diam seribu bahasa. Aku putus asa sampai rasa kantuk menyerangku. Tak sadar lagi-lagi aku tertidur di hadapannya.

Pukul tujuh pagi, jiwaku kembali pada tempatnya setelah melalangbuana di alam mimpi. Seperti biasa, tak lagi kudapati bidadari itu di hadapanku. Bibirku tak henti-hentinya memaki diri sendiri sebelum akhirnya kuputuskan untuk bersiap-siap dan berangkat ke kampus.

***
Ini malam kesekian aku menunggunya di kamar, tapi kali ini tanpa sinar rembulan. Cahaya redup lampu kamar tak bisa menggantikan indahnya pancaran rembulan. Dua gelas kopi dan beberapa batang rokok telah kandas, meski waktu belum menunjukkan tengah malam. Aku duduk di tempat biasa, resah menunggu datangnya bidadariku. Entah kenapa firasatku kali ini tak enak, seperti ada sesuatu yang hilang. Entah apa itu.

Malam semakin pekat, kulirik jam weker di meja, tengah malam baru saja berlalu. Ini membuat perasaanku semakin tak enak. Bidadari yang kunanti tak kunjung muncul. Seksama kuperhatikan benda di depanku dan di sanalah tak sengaja kutemukan sesuatu. Bagai tersengat listrik beribu-ribu volt, tubuhku gemetar tak karuan. Segera aku beranjak dari tempat dudukku, berlari sambil berteriak histeris.

“Ibu ... Ibu ....” Aku berlari menuju kamar Ibu. Kugedor-gedor pintu kamarnya. Aku tak peduli meski ini tengah malam sekalipun.

“Ibu ... buka Ibu ....” Aku masih histeris di depan kamar Ibu. Tak lama pintu kamar Ibu tergesa-gesa dibuka. Tersembul wajah kusut Ibu yang masih terkantuk.

“Ada apa kamu tengah malam begini teriak-teriak?”

“Ibu, apa yang Ibu lakukan pada cermin di kamarku?” Aku menggoncang-goncang bahu Ibu.

“Oh, itu. Tadi siang sewaktu membersihkan kamarmu tak sengaja Ibu memecahkannya. Cermin itu hancur berkeping-keping, lalu ibu ganti dengan yang baru,” kata Ibu santai.

Aku langsung terduduk lemas. Syaraf-syarafku seakan lumpuh. Tak kupedulikan lagi air mata yang kini membanjir di pipi. Sekarang, tak akan pernah lagi kutemukan bidadari itu di kamarku. Ibu baru saja membunuh bidadariku.  

========== THE END ==========

Gambar: dari sini
 
readmore...

Rabu, 12 Desember 2012

-Mencintai Kekasihmu-




Ini adalah sebuah cerita. Cerita tentang kekasih orang.

Hei cantik, aku mencintai kekasihmu. Sudikah kau membaginya denganku? Diam-diam di belakangmu aku bercanda mesra dengannya. Di balik matamu, kami saling merindukan. Menghabiskan malam-malam sepi bersama ketika kau terlelap.

Hei cantik, kekasihmu juga mencintaiku. Izinkan aku menempati hatinya bersamamu. Tak akan kurampas dia dari sisimu. Aku hanya ingin bersamanya. Itu cukup bagiku.


Hei cantik, jangan bermuram durja. Kekasihmu masih mencintaimu. Namun, dia juga tak mau kehilanganku. Lapangkanlah hatimu, terimalah aku. Meski dahulu kau pernah kusakiti, itu tak usahlah kau ungkit. Mari buka lembar baru. Hatiku sudah berubah, tak seperti dahulu. Sekarang, yang kucintai adalah kekasihmu, bukan lagi dirimu.


Gambar: dari sini
readmore...

Minggu, 09 Desember 2012

-Nasi Pecel-


 
Sepiring nasi pecel telah tersaji di meja makan. Lagi-lagi kau hanya tersenyum kecut memandanginya. Aku tahu apa yang kaupikirkan. Memang aku tak pandai memasak.
Katamu aku hanya bisa merayu dan berdandan.

Kau tak percaya nasi pecel itu buatanku. Tapi, aku jujur. Nasi pecel itu memang buatanku. Seminggu kemarin aku belajar dari ibu. Beliau memberi resep turun-temurun. Sampai akhirnya sekarang aku bisa menghidangkannya untukmu. Sayangnya kau belum percaya nasi pecel itu buatanku.

Kau memang lebih suka masakan Fatimah. Janda cantik pemilik warung depan rumah. Daripada nasi pecel itu mubadzir dan tak barokah. Lebih baik kuberikan pada tetangga sebelah. Hitung-hitung buat sedekah.

Tak lama, kau menanyakan nasi pecel itu. Karena kau lapar dan Fatimah tak berjualan hari itu. Katamu, daripada kelaparan, lebih baik makan nasi pecel yang kuhidangkan untukmu. Meski kau belum percaya itu buatanku.

Maaf sayang, aku terlanjur tak menyisakan untukmu. Tetangga sebelah lebih menghargai jerih payahku, daripada kau, suamiku. Jadi, jangan tanyakan lagi tentang nasi pecel itu. Karena mulai sekarang aku tak akan lagi menghidangkannya untukmu. 


gambar: sumber 
readmore...

Rabu, 05 Desember 2012

Ziarah Hati

 

Dalam buku ini, Anda (selaku pembaca) akan mendapati kisah-kisah yang tertutur impresif. Pengisahan yang terpapar pun minim "bunga-bunga kata". Cukup lugas, namun gamblang. Ini tentu menjadikan antologi cerita--yang berangkat dari fakta--dalam buku ini memiliki pesan dan kesan khusus di hati pembaca: mengeratkan jarak "Teks" dan "konteks", serta mengartikan hidup di atas kehidupan. Semoga.

Info buku: Citra Mediagroup
readmore...

Say No To Tattoo

Judul : Say No To Tattoo
Penulis : Anung D'Lizta, Arinda Shafa, Rivyana Intan
Prabawati, Roma DP dkk
Penerbit : deKa Publishing

ISBN 978-602-18817-3-6
Tebal : ix + 139 hlm. ; 13x19cm
Harga : Rp. 36.000,- (belum termasuk ongkir)
HARGA SINGAPURA $11.50

SAY NO TO TATTOO!
Karena Hidup adalah Pilihan.
Penyesalan selalu datang di akhir perbuatan bagi siapapun yang menyimpang dari kaidah atau norma agama. Jangan sia-siakan hidup ini dan lepas dari anugerah-Nya dengan melanggar peraturan yang mengajak kita pada tatanan yang lebih indah dan benar. Apalagi karena cinta, jangan jadikan hidupmu berada jauh dari garis Tuhan. Bila tinta telah bersatu menjadi daging, dan air tak mampu meresap maka itu suatu tanda-tanda syarat ibadah kita kurang sempurna. Say No To Tattoo maka kita selamatkan air suci yang mengantarkan kita kepada Sang Maha Pencipta.

***

[CARA PEMESANAN]
Ketik SMS =

# Pesan SNTT #
Nama Penerima :
Alamat Lengkap :
Kodepos :
Jumlah Buku :
No. HP :

Kirim ke 083879804181 atau inbox DeKa Publisher
Kami akan mengirimkan total yang harus dibayar serta pemberitahuan nomor rekening.
readmore...

-Kopi-




Kopi yang kuseduh belum kausentuh sama sekali. Padahal sudah sedari maghrib tadi. Kau terus termangu memandanginya. Ya, hanya kaupandangi, tanpa kausentuh sama sekali.

Kopi yang kuseduh sudah terlalu dingin. Tapi, tak kunjung kaujamah. Asapnya tak lagi mengepul, aromanya pun sudah tak berbekas.

Kopi yang kuseduh telah basi sebelum kauhirup. Apa karena warnanya kurang memikat seperti kopi-kopi yang sering kaubeli di luar sana? Atau kau curiga aku menaruh racun di dalamnya?


"Apa itu benar kopi yang kauseduhkan untukku?"

"Pertanyaan macam apa itu? Hanya kau suamiku, lalu untuk siapa lagi kuseduhkan kopi itu?"

"Lalu, kenapa harumnya berbeda?"

Aku terdiam. Kopi yang kuseduh salah takar. Satu sendok kopi, satu sendok gula dan satu sendok krim. Itu harusnya takaran untuk kekasihku. Bukan untuk suamiku. Ceroboh. 


Gambar: dari sini
readmore...
Jasa Desain Cover