Alhamdulillah "Suara 5 Negara" yang merupakan antologi puisi penyair
perwakilan dari lima negara di Asia Tenggara, yakni Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, sudah terbit di Tuas
Media. Anda bisa mendapatkannya dengan memesan kepada kami melalui nomor
telepon 087815594940 atau E-mail: tuasmedia@ymail.com.
Jumat, 14 September 2012
Senin, 10 September 2012
Secangkir Teh Pahit
Malam ini aku menikmati secangkir teh pahit, ditemani sang rembulan
yang tersenyum genit. Sama seperti waktu itu, saat bersamamu. Bedanya,
kini kau tak lagi duduk di sampingku, tak ada lagi kata-kata rayuan yang
menggetarkan hatiku. Yang ada hanya sebutir mutiara rindu yang
tersimpan rapi dalam kotak kehampaan.Kuhirup teh yang mulai dingin,
pahit namun wangi. Rasanya masih sama seperti waktu itu, meski kini
hanya tinggal secangkir yang ada di hadapku. Sedang yang satunya telah
berpindah ke meja yang lain. Mungkin disana cangkir itu telah diisi lagi
dengan teh yang berbeda.
Malam semakin larut, secangkir teh di depanku sudah hampir kandas.
Aku menunggu sampai ada yang menuangkannya lagi untukku. Namun,
sepertinya suasana mulai sunyi dan tak ada seorang pun yang
menghampiriku. Kuputuskan untuk menyudahi ritual minum teh malam ini.
Beranjak dari tempatku dan kembali ke geta peraduan.
Label:
CERPEN/FF
Sepucuk Surat untuk Sahabat
"Kita adalah satu." Itu lah kata-kata yang selalu kuingat. Kata-kata termanis yang pernah kau ucapkan padaku sebagai tanda ikatan
persahabatan kita. Kau pernah bilang jika aku sakit maka serasa
terkilirlah hatimu. Jika aku senang, maka hatimu laksana taman bunga
yang menyerbakkan wangi di setiap aliran darahmu. Bulir air mataku tak
dapat kutahan saat itu, begitu terharunya. Selama ini kaulah yang mampu
membuatku menorehkan segaris senyum di sela-sela air mata yang
membanjir. Nasihatmu selalu setia terngiang dalam telingaku, mengetuk dinding
hatiku dan tertanam disana hingga sekarang.
Sahabatku, pernahkah kau denger ungkapan, "sahabat yang baik itu
berani menegur sahabatnya tatkalah berbuat salah?" Kau pun pernah
berbuat begitu. Ingatkah kau waktu itu? Ketika aku hampir menjahili
salah seorang guru yang tak kusukai, dengan lembut kau memegang
tanganku dan memohon untuk tak melakukan hal itu. Saat itu aku bangga
memiliki sahabat sepertimu, benar-benar bangga.
Sahabatku, kau yang menunjukkan padaku (bukan hanya sekedar
mengajari) bagaimana memakai "pakaian" yang benar bagi seorang
muslimah. Kau juga yang memberikan contoh bagaimana beretika sebagai
seorang wanita sejati. Bahkan kau pernah memarahiku karena amarahku
yang sering bergejolak. Aku ingat benar waktu itu, takkan pernah
kulupa. Suatu pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku.
Sahabatku, waktu ternyata berjalan begitu cepat. Perpisahan denganmu
menjadikanku rapuh, seakan kehilangan sebelah kakiku. Tertatih-tatih
aku mengarungi perjalanan panjang sendiri. Di setiap langkah aku
merindukan caramu menyayangiku. Di setiap doaku namamu ada disana,
bersama orang-orang yang kucintai. Kumintakan pada Tuhan agar Dia
selalu menyayangimu, melindungimu, serta menjadikanmu salah satu yang
menempati surga-Nya. Kuberharap kau belum menghapus namaku dari memori
hatimu, karena aku pun masih menyimpan rapi ukiran namamu di hatiku.
Sahabatku, jika kau lelah akan petualanganmu, kuharap aku akan
menjadi persinggahanmu. Tanganku terbuka lebar untuk menyambutmu.
Senyum termanis akan kukembangkan demi kepulanganmu. Tak lupa pelukan
terhangat akan kuberikan sebagai pelepas lelahmu. Terakhir, doa
terindah dariku untukmu yang selalu menghiasi langit di sepertiga malam
terakhir.
Thanks for everything that you ever brought to me
Madiun, 19 April 2012
Label:
CURHAT
Kursi Berkaki Empat
Bujuk-rayu-jerat
Manis di muka, di belakang mengumpat
Panjang lidah guna menjilat
Biar semua tetap merapat
Demi satu kursi berkaki empat
Dipercaya namun khianat
Hanya bermodal pesona memikat
Nurani tersisih oleh nafsu yang meningkat
Mata disilaukan lembaran merah berkilat
Yang tertumpuk di atas kursi berkaki empat
Seharusnya aku memberi hormat
Bukan mencaci apalagi menghujat
Namun sungguh aku tak kuat
Ketika sadar dengan apa yang kulihat
:Curut tertawa di atas kursi berkaki empat
21/04/2012
Label:
PUISI
Kado Terakhir untuk El
Pelangiku tersenyumlah
Izinkan aku sejenak menikmatinya
Agar esok ketika kau pergi
Aku takkan menangisimu lagi
Alunan merdu lagu yang selama ini
mampu menggesek dawai-dawai hatiku itu, kini menyibak kembali masa lalu. Masa
di mana El menciptakan lagu itu untukku. Lagu yang merupakan hadiah untuk tiga
tahun masa kebersamaan kami berdua. Aku ingat betul bagaimana El untuk pertama
kalinya menyanyikan lagu itu di depanku. Dengan gitar kesayangannya, ia mulai
merampas seluruh perhatianku. Telingaku tak melewatkan satu melodi pun yang
meluncur dari gitar miliknya. Aku menyebutnya harmoni yang romantis. Meski
kuakui aku ini buta nada, namun dengan sabar El menuntunku memahami nada dalam
setiap bait liriknya.
***
“Fida, apa kau yakin akan bisa terus
bersamaku?” tanya El padaku sambil memeluk gitar kesayangannya.
“El, apa tiga tahun belum cukup
untukku membuktikannya padamu?” Mataku beralih pada ruang di balik jendela kaca
kamar El. Di sana berjejer koleksi gitar El, mungkin sudah mencapai puluhan. Di
sana ada juga satu gitar berwarna putih yang sengaja El taruh di tempat paling
tinggi. Katanya supaya orang-orang bisa tahu kalau itu adalah gitar terbaik
miliknya. Padahal itu gitar murahan yang kubeli dari teman kakakku beberapa
waktu lalu sebagai hadiah ulang tahunnya. Ah, El memang pandai menyenangkan
hatiku.
Mataku beralih lagi pada El, memandangnya
lekat. Tak terasa lelehan air hangat merembes di pipiku, terus turun sampai
menetes di baju putihku. Aku menahan isakku
agar tak terdengar oleh El. Namun percuma, El selalu tahu.
“Kenapa menangis?” tanyanya lagi.
Tatapan matanya kosong ke arahku.
“Siapa yang menangis?”
“Kamu tak bisa bohong dariku!”
desaknya. “Apa kau menyesal?” lanjutnya.
“Tidak. Bukan itu,”
Aku beranjak dari tempat dudukku.
Mendekati jendela yang menghadap tepat pada sungai di belakang rumah El. Sungai
itu terlihat tenang, namun tak bisa menenangkan hatiku.
“Aku sama sekali tak menyesal.
Bahkan aku bahagia bisa mengenalmu. Kau adalah satu-satunya lelaki yang bisa
mengetuk pintu hatiku.” Air mataku semakin deras meluncur di pipi.
“Kau tahu aku tak sempurna, tapi
kenapa kau masih tetap bertahan?” Matanya masih menatap kosong pada tempatku
duduk tadi.
“Manusia itu tak ada yang sempurna,
aku pun juga. Tapi, dirimu adalah yang terbaik bagiku.” Mataku beralih lagi
pada sosok El yang masih memeluk gitarnya. Dia tampak begitu sempurna di
mataku. Orang lain pun pasti akan bilang El adalah orang yang sempurna kalau
belum tahu bahwa sebenarnya ada yang “kurang” dalam dirinya. Orang takkan
menyangka kalau pencipta lagu terkenal yang sering mereka dengarkan di radio
itu adalah seorang tunanetra. Ah, aku tak bisa membayangkan reaksi mereka
ketika mendapati kenyataan itu.
Bertahun-tahun El hidup dalam
“kegelapan”, namun itu tak lantas memaksanya untuk berhenti berkarya. Beberapa
lagu hits telah ia ciptakan dan
menjadi lagu andalan band-band ternama. Namun, karena “kekurangannya” itu, ia
tak pernah mau tampil di hadapan publik. Malu, begitulah katanya. Ia pernah
bilang padaku bahwa impiannya adalah dapat melihat indahnya dunia dan terus
berkarya tanpa harus “sembunyi”.
“Lalu, kenapa kau menangis?”
desaknya lagi.
“Ah, tak apa. Aku menangis karena
bahagia. Bahagia bisa menjadi bagian dari hidupmu,” jawabku berbohong. Aku
takkan mampu mengatakan apa yang sebenarnya telah membuatku meneteskan air
mata. Kuremas-remas kertas vonis dokter tentang penyakitku yang sedari tadi
kugenggam. Cukup aku saja yang mengetahuinya, El tak perlu.
***
Pelangiku
tersenyumlah
Izinkan aku sejenak menikmatinya
Agar esok ketika kau pergi
Aku takkan menangisimu lagi
Lagu itu masih mengalun lewat earphone yang terpasang di handphone-ku. Meski lagu itu sudah
kudengar berkali-kali selama setahun belakangan ini, tapi ternyata telingaku
belum bosan. Lagu itu masih menjadi favoritku. Terlebih ketika El sendiri yang
menyanyikannya untukku.
Aku terbaring lemas tanpa El di
sisiku. Aku masih merahasiakan vonis dokter setahun lalu darinya. Aku berusaha
agar tak membuatnya sedih karenaku. Satu bulan lagi adalah hari ulang tahunnya,
rencananya aku akan memberikan sesuatu yang istimewa padanya. Beberapa menit
lalu aku sudah menitipkannya pada dokter yang selalu merawatku di sini. Meski
aku tak dapat hadir saat hari ulang tahunnya itu, namun mataku yang akan
menggantikannya. Itu adalah kado terakhir dariku untuknya, semoga melalui
mataku ini ia bisa menggapai mimpi-mimpinya, walau tanpa diriku di sisinya.
==========
THE END ==========
Label:
CERPEN/FF
Langganan:
Postingan (Atom)