Social Icons

Rabu, 30 Mei 2012

Fatamorgana

Oleh: Roma DP

Malam menggelayut di langit pekat. Rembulan pun enggan menyapaku. Hanya ada satu-dua bintang yang masih bersemangat menghiasi kepekatan malam. Lumayan, walau tak seterang biasanya, paling tidak itu tak membuatku tersesat dalam kegelapan. Aku terpaku di beranda rumah sambil menikmati sang raja malam menikam ruang kosong di depanku. Ditemani segelas anggur dan secawan luka yang menganga di hati, aku bersusah payah membangun benteng agar bendungan di kedua mataku tak jebol dan membanjir.

Kugigit bibir kuat-kuat. Nyeri. Tapi tak senyeri hatiku yang telah terkoyak hingga tak berbentuk. Kini, hatiku mungkin telah mati rasa bila dihadapkan dengan satu kata, cinta. Terlanjur hebat gempa yang menggoncang jiwa. Hingga menghilangkan keyakinanku pada seorang manusia yang disebut lelaki. Rasa sakit yang ditorehkan makhluk berbentuk lelaki itu terlanjur menancap kuat. Bukan salahku jika seandainya aku mengharamkan diriku untuk lelaki manapun.

Cukuplah setetes racun menghilangkan aroma wanginya cinta yang pernah kuteguk. Lelaki itu, yang dengan terang-terangan menuangkan setetes racun dalam madu. Membuat seluruh tubuhku kini lunglai karenanya. Lelaki itu, yang mengolesi bibir pahitnya dengan kata-kata manis hingga aku terhanyut dalam buaiannya. Lelaki itu, telah menghujaniku dengan seribu rayuan di hadapan matahari, namun di hadapan rembulan ia menghujamku dengan belati bermatakan dusta hingga menembus jantungku. Lelaki itu, ah, aku benci bila harus teringat dengannya. Aku jijik melihat bayangannya dalam benakku, aku mual terngiang akan suaranya yang terus memenuhi ruang-ruang di telingaku. Aku benar-benar membencinya setengah mati. Lelaki itu, tak pantas bahagia di depan mataku.

***
Setahun lalu, tepat di bawah pohon nusa indah yang kokoh tertancap di kampusku, dia -lelaki itu- menaburkan benih-benih cinta di hatiku. Dan aku, -wanita bodoh ini- dengan senang hati merawat benih itu hingga mekar menjadi bunga-bunga cinta yang memenuhi taman hati. Lelaki itu tampak sempurna dengan kecerdasan dan janji setianya, aku luluh seketika. Wanita tangguh ini telah kehilangan keangkuhan di depannya. Rela menghinakan diri demi secawan cinta yang ditawarkan lelaki cassanova itu.

“Laras, di matamu terlihat jelas masa depan kita,” bisiknya sambil menggenggam kedua tanganku. Semburat merah jambu menjalar di pipiku seketika. Aku hanya tertunduk menahan rasa malu yang tiba-tiba menyergapku. Saat itu aku benar-benar terlihat bodoh di hadapan dunia.

“Masa depan apa?” tanyaku meminta kepastian dari angan-anganku.

“Masa depan bahagia yang akan kita rajut di kemudian hari. Aku dan kamu, duduk berdua di singgasana itu, membuat iri dunia yang menatap kita.” Aku terbang hingga tak sadarkan diri. Kata-katanya membuatku lupa kalau aku seorang manusia biasa, bukan bidadari yang tersesat di bumi.

“Vin, apa kau mau serius denganku?” tanyaku lagi. Kali ini aku ingin ia menghapus segala keraguan yang merundung hatiku. Aku ingin dia meyakinkanku kalau perkataannya bukan hanya isapan jempol belaka.

“Laras, apa kau melihat keraguan di mataku? Bila kau melihatnya, maka kau boleh mengambil belati dan mencungkil kedua mataku, hingga tak ada keraguan dalam setiap jengkal jiwa ragaku!” katanya penuh ketegasan. Aku semakin melayang lebih tinggi dan tak menyadari kelak aku akan terjatuh dan itu akan sangat sakit sekali.

“Vin, kau adalah yang pertama memasuki hatiku dan merebut seluruh perhatianku. Aku tak ingin kau membuatku malu telah rela menanggalkan keangkuhanku demi cintamu.” Aku menunduk semakin dalam, takut wajahku yang tengah merah padam terlihat olehnya.

“Tak akan. Bahkan, jika kau memintaku menanggalkan harga diri dan kehormatanku, aku akan lakukan. Semua itu untukmu. Kau adalah singgahan terakhir dalam pengembaraan cintaku.” Begitulah aku terperangkap dalam permainannya. Salahku yang terlalu percaya pada lidahnya yang nyata-nyata telah bercabang dan melukai banyak hati. Salahku telah menghancurkan dinding hatiku yang susah payah kubangun untuk mencegah lelaki sepertinya masuk ke dalam salah satu ruang di hatiku.

Vino, lelaki yang salah kucintai itu memang seorang playboy di kampusku. Aku pun tahu sepak terjangnya. Seminggu, bahkan sehari ia bisa bergandengan tangan dan berpeluk mesra dengan puluhan wanita yang berhasil ia butakan. Aku yang belum pernah menganal cinta dan sengaja menutup hati untuk lelaki, khususnya untuk playboy macam Vino, ternyata berhasil dilumpuhkannya. Senjatanya benar-benar ampuh, aku menyerah tanpa perlawanan.

Meski playboy, aku melihat keyakinan itu di matanya. Pancaran dari matanya mengatakan kalau dia telah benar-benar insaf. Itulah yang membuatku akhirnya menerima dia sebagai pengisi hatiku. Aku singkirkan segala prasangka buruk tentangnya. Kututup telinga rapat-rapat dari bisikan-bisikan yang menjatuhkannya. Aku sengaja memantapkan hatiku untuk yakin padanya.

Keyakinanku semakin terbukti ketika hubungan kita mampu bertahan selama setengah tahun. Dia tak pernah kutemui berbuat macam-macam dengan wanita manapun. Sikapnya telah benar-benar berubah di mataku. Itu telah cukup membuatku membuang semua keraguan dalam benakku. Aku memutuskan dialah yang akan menjadi dermagaku. Semua orang pun melihat iri pada kami. Suara-suara yang tadinya memanasi telingaku, tak terdengar lagi. Sepertinya aku telah berhasil meyakinkan semua orang bahwa Vino telah berubah untukku. Aku pun semakin bangga karena telah berhasil menekukkan lutut seorang Vino di hadapanku.

***
Dan seminggu lalu, tepat di bawah pohon nusa indah yang masih kokoh berdiri di kampusku, dia-lelaki itu-menghujamkan belati kedustaan tepat ke jantungku. Mengoyak seluruh jiwa ragaku, meluluhlantakkan hatiku.

“Laras, maafkan aku. Ini bukan inginku.” Saat itu bukan aku yang tertunduk malu, tapi dia yang tertunduk di hadapanku. Entah karena rasa bersalah atau rasa bahagia telah berhasil membuatku menjadi satu-satunya wanita bodoh di dunia ini.

Aku terdiam terpaku di hadapannya. Mataku tak kuasa mengeluarkan air mata. Hanya hatiku tengah bergejolak menahan amarah dan rasa sakit. Takkan kubiarkan ia melihat lelehan air hangat di pipiku. Terlalu berharga air mataku bila harus terjatuh di depannya.

“Laras, aku harap kau tak marah dengan semua ini,” katanya hingga membuatku benar-benar muak. Aku meremas selembar undangan berwarna ungu yang sedari tadi kugenggam. Undangan yang seharusnya ada ukiran nama kami berdua di dalamnya. Tapi, ternyata itu tak akan pernah terjadi. Terlanjur ia memutuskan namanya bersanding dengan nama wanita lain, bukan aku. 

“Laras, aku benar-benar minta maaf padamu. Tak ada sebersit pikiran pun untuk menyakitimu. Ini pilihan orang tuaku. Aku tak bisa menolak.” Alasan klasik yang selalu diberikan seorang playboy macam dia. Dia telah benar-benar mempermalukanku di hadapan dunia. Tak ada kata maaf untuknya. Bahkan secuil pun takkan pernah ada.

***
Aku masih berdiri dengan segelas anggur di beranda rumah. Bukan rumahku, tapi rumah Vino yang kini telah dihiasi bunga warna-warni yang menebarkan semerbak wangi ke seluruh ruang kosong. Namun, bagiku itu adalah wangi kematian untuk cintana, yang ternyata hanyalah sebuah fatamorgana. Di balik punggungku terlihat sepasang manusia yang tengah berbahagia di atas perihku. Vino dan wanitanya. Dan aku disini hanya bisa menggigit bibirku keras-keras. Tak peduli walau darah segar telah menggantikan warna merah lipstik di bibirku.

“Vin, malam ini aku datang karena ingin mengucapkan selamat padamu, sekaligus mengucapkan terima kasih karena telah menghancurkan hidupku. Kelak, aku takkan sungkan untuk mencabut belati yang telah kau tancapkan dan berbalik menghujamkannya padamu. Ingatlah, aku bukanlah wanita yang rela dipermalukan di hadapan dunia!” janjiku dalam hati. Aku takkan menutup mata sebelum janjiku itu terpenuhi. Suatu saat, aku akan benar-benar membuatnya terjerembab di depanku. Tunggu saja!
readmore...

Kau dan Pintu Itu

Oleh: Roma DP

Kau, ya kau yang sudah berdiri tepat di depan pintu itu, perlahan-lahan mulai mengetuk pintu hatiku. Tanpa kusadari perlahan-lahan kuintip kau dari balik pintu itu. Kutatap wajahmu yang tampak semu, entah kenapa terlihat buram. Kutanya apa perlumu, dan kau menjawab ingin singgah. Aku lantas tersenyum, tapi pintu itu belum juga kubuka untukmu. Lama aku berdiri di balik pintu itu sambil mendengar celotehmu dan tanpa sadar aku terhanyut olehmu. Benar-benar gila. 


Waktu terus bergulir, kakiku sudah pegal berdiri di balik pintu itu, namun kau belum juga beranjak dari sana. Kau bilang akan terus menunggu sampai aku membukakan pintu itu untukmu. Tentu saja aku merasa sangat tersanjung. Tapi, segera kutepis itu semua. Aku sadar, jika aku membuka pintu itu kau akan terjebak di dalamnya dan tak akan pernah keluar lagi. Aku takut kau akan mati pelan-pelan karena di dalam tersimpan serigala yang sedang kelaparan. Aku takut kau tak akan kuat bertahan. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengunci rapat-rapat pintu itu. Dengan kasar kuusir kau agar menjauh dari situ. Namun apa? Kau tak juga beranjak. Aku putus asa, tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat untuk menjauhkanmu dari pintu itu. Akhirnya, akulah yang harus menjauh. Sesaat terasa ada yang hilang dan segeralah sunyi datang menyergap. Tapi, aku harus bertahan meski tenggorokan serasa tercekik. 

Beberapa waktu berlalu, aku kembali. Aku kaget setengah mati ketika mendapatimu masih di depan pintu itu. Masih dengan senyum yang sama kau berdiri tanpa bergeser sedikitpun dari sana. Aku bingung, tak tahu harus berbuat apa. Apa aku harus membuka pintu itu untukmu dan membiarkan kau menghadapi serigala yang semakin kelaparan itu? Atau harus aku menjauh dan kembali bercumbu dengan kesenyapan? Ah, ini benar-benar membuat dilema. Yah, akhirnya kuputuskan untuk menjauh (lagi) meski kutahu kita akan sama-sama terluka. Tapi, setidaknya kau masih bisa hidup dan tak harus meregang nyawa di mulut serigala kelaparan itu.

readmore...

Minggu, 20 Mei 2012

Hati Terbelah

Oleh: Roma DP


Rinai hujan mulai membasahi bunga-bunga mawar di depan rumahku. Kelopak mataku berkedip-kedip memandang syahdunya pemandangan senja ini. Tak terasa jiwaku pun ikut merasakan kesejukannya. Jauh meresap ke dalam dada. Meredam percikan-percikan api amarah yang menyelubungi hatiku.

Aku mengalihkan pandangan pada melati yang tumbuh merambat di pagar rumah. Bunganya putih bersih, harum baunya mampu menghipnotis kumbang-kumbang. Aku pun terperangah pada keelokannya. Memang benar-benar bunga yang menawan, Jasmine, seperti nama kakakku. Kakakku memang cantik, tak hanya parasnya, tapi juga hatinya. Tak pernah kuberjumpa orang secantik kakakku. Kecantikan alami dari Tuhan yang benar-benar membuatku iri padanya.

Aku selalu membandingkan diriku dengan kakakku. Kenapa aku yang adik kandungnya tak bisa secantik dirinya? Setiap menatap wajahnya, aku hanya bisa tersenyum kecut, tapi dalam hati mengaguminya. Entah perasaan apa yang aku rasakan, hanya sekedar irikah? Aku pun tak mengerti itu.

Ada SMS ... Ada SMS ... Ada SMS....

Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Cepat kulihat layar yang sudah berkedip-kedip. Elang.

“Kamu dimana?” begitulah bunyi sms yang masuk dari Elang. Ya, Elang kekasihku yang sudah berhasil membuatku galau itu.

“Di rumah,” kuketikkan beberapa huruf padanya, lalu kutekan send.

Ah, dia selalu bisa membuatku galau. Walau begitu, aku tak bisa marah padanya. Mungkin aku terlalu sayang dan cinta, hingga mampu mengubur amarahku.

Ada SMS ... Ada SMS ... Ada SMS ....

Secepat kilat ia membalas SMS-ku, tak seperti biasa. Kutekan Read.

“Aku kesana sekarang,” singkat, padat, dan jelas. Ah, seperti biasa, tak pernah bisa sedikit berbasa-basi padaku. Tak ada kata sayang, cinta, maupun rindu yang terselip diantara huruf-huruf dalam SMS-nya. Membuatku semakin tak karuan. Mau marah, tapi tak bisa.

“Dis, kamu kenapa?” tiba-tiba kakakku menepuk pundakku dari belakang.

“Eh ... nggak apa-apa kok, Kak,” jawabku sedikit kaget.

“Nggak mungkin, pasti ada apa-apanya deh! Bendungannya udah mau rubuh tuh!” Kakakku mengusap lembut pipiku.

Ah, kenapa kau malah sebaik ini padaku? Padahal aku sempat iri dan benci padamu?” Batinku.

“Elang mau kesini katanya dan aku belum siap mendengar apa yang akan dikatakannya, pasti dia bakalan lebih milih kakak kan?” Linangan air mata mulai jatuh dari mataku, mengalir lamban di pipiku. Kakakku hanya membisu.

Elang, kekasihku, ternyata dia juga mencintai kakakku. Seminggu yang lalu ia mengakuinya. Hatiku seperti remuk rasanya. Aku sadar, aku memang tak lebih baik dari kakakku. Dia hampir sempurna, sedangkan aku? Berdiri saja masih butuh penyangga agar tubuhku tak roboh. Tapi, sebisanya aku ikhlas dengan pilihan Elang nantinya.
readmore...

Mencari Kehidupan


Aku duduk terdiam di bawah pohon beringin. Suasana siang ini memang begitu terik. Peluh membanjiri kening juga kerudung biru laut yang membalut kepalaku. Kuperhatikan sekelilingku, benar-benar tak ada tanda-tanda akan datangnya sesosok manusia kesini. Di tengah kesunyian ini, pikiranku melayang jauh menembus masa lalu. Senyum masa kecilku tampak samar, yang jelas terlihat hanya air mata yang membanjiri sebagian masa hidupku. Aku tersenyum kecut mengingat itu semua. Aku hanya peri kecil yang terbuang. Kata mereka aku manusia jalang, sampah masyarakat. Sungguh terekam jelas perkataan mereka dalam memori otak yang tak seberapa ini. Pedas dan menusuk. Sebenarnya apa salahku? Kerugian apa yang ditanggung mereka karenaku? Moral, begitulah jawabnya.

Kadang aku bertanya, dimana mereka yang menghujatku saat aku butuh uluran tangan? Dimana mereka saat ibuku meregang nyawa karena kekurangan darah akibat terlindas truk bermuatan pasir? Mereka pura-pura tak tahu dan menutup pintu rapat-rapat. Mereka pura-pura tak mendengar saat aku merintih kelaparan. Mereka berpaling saat aku membutuhkan sandaran. Lalu pantaskah mereka mencibir atas keadaanku? Sekali lagi, aku hanya tersenyum kecut.

Matahari masih pada posisinya saat aku kembali mengusap peluh yang mengucur. Keadaan masih sunyi. Kembali aku menyusuri lorong waktu. Mengingat betapa mirisnya awal ungkapan “wanita penghibur” melekat padaku. Ayahku tak tahu kemana saat berhasil membuat ibu mengandung, sedang ibu telah tenang bersama-Nya. Sejak saat itu aku hanya hidup dari tutup-tutup botol minuman berkarbonasi yang kususun di atas sepotong kayu. Jangan tanya dimana mereka yang menghujatku! Setetes air pun tak pernah terulur dari tangan mereka.

Ternyata semakin beranjak remaja, hidup tak cukup hanya dari tutup botol saja. Aku mulai bergerak, mencari penghidupan lain. Pergerakan itu membawaku pada suatu kehidupan kelam. Mereka menyebutnya “prostitusi”. Aku tak tahu apa itu artinya, yang kutahu aku bisa menghasilkan uang dalam semalam. Aku juga tak tahu kenapa mereka mulai mengusikku sejak saat itu. Bukankah mereka tak peduli dengan kehidupanku? Lalu kenapa malah menggangguku? Aku benar-benar tak mengerti.

“Dis,” tegur seseorang di dari belakang. Aku terhenyak. Sesosok wanita cantik berbalut jilbab putih bersih, tersenyum manis padaku. Dokter Faizah.

“Ya, Dokter?” aku menatapnya dengan mata sayu.

“Saya cemas lho nyariin kamu, ayo kita kembali ke kamar!” ajak dokter Faizah. Aku hanya mengangguk menerima ajakannya. Sudah beberapa bulan ini aku dirawat oleh dokter Faizah di rumah sakit. Dia berbaik hati mengulurkan tangan saat aku terkapar tak berdaya karena suntikan zat adiktif. Dia yang mengenalkanku pada Tuhan. Dia yang tak menjauh saat HIV menggerogoti tubuhku. Aku benar-benar beruntung bertemu dengannya di akhir perjalanan hidupku. 
readmore...

Aku Masih Menunggumu



“Tunggulah kedatanganku di sini!” Bayu mengucapkan kata-kata itu sambil mengusap mesra pipiku.

“Tapi, kamu nggak akan lama kan?” Tanyaku meratap.

“Sayang, suamimu ini cari kerja demi siapa? Kamu kan? Jadi, kapan pun aku kembali, aku harap kamu masih setia menungguku.” Bayu menatapku dengan tatapan yang tak dapat kulupakan.

Prittt....Priitttt....Priittttt..... bunyi peluit petugas pun menjerit memekakkan gendang telinga, pertanda kereta akan segera berangkat. Kupeluk mesra tubuh suamiku, rasanya tak ingin kulepas lagi. Tapi, apa daya, kereta api pun mulai merangkak dan Bayu melepaskan pelukannya dariku. Perlahan kulambaikan tangan tanda perpisahan padanya. Tiba-tiba perasaanku menjadi kosong bersemaan dengan laju kereta yang semakin lama semakin cepat itu. Kupandangi kereta yang terus melaju itu dengan tatapan nanar, ia telah membawa pergi suamiku dari pelukanku.

Berbulan-bulan sudah suamiku pergi dan selama itu pula aku tak mendapat kabar apapun darinya. Setiap pagi aku selalu menunggu telepon dan sms darinya, tapi handphone-ku pun hanya terdiam membisu. Setiap sore aku juga selalu pergi ke stasiun dimana terakhir kali aku melihat wajahnya, kereta demi kereta yang singgah tak satupun membawa kembali suamiku tercinta. Berjuta prasangka pun datang silih berganti. Tapi, aku harap tak ada satupun yang benar dari apa yang singgah di pikiranku, aku percaya suamiku akan kembali padaku. Dia berjanji akan kembali padaku dan aku pun telah berjanji akan setia menunggunya. Tak boleh ada prasangka buruk tentangnya.

Bukan dalam hitungan bulan lagi suamiku tak kembali, sudah hampir dua tahun suamiku menghilang entah kemana. Aku berusaha menanyakan pada tetangga-tetanggaku yang baru pulang dari perantauan, tapi tak satupun dari mereka yang mengetahui dengan pasti keberadaan suamiku. Simpang siur berita tentang suamiku pun mulai menyebar di kampung. Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar kabar burung yang beredar, aku takkan peduli dengan apapun, aku hanya percaya pada suamiku seorang.

Tok...tok...tok..

“Permisi....” Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar, aku buru-buru menyambutnya.

“Iya, ada apa ya?”

“Saya petugas dari kantor pos, ada kiriman paket untuk ibu. Silakan tanda tangan di sini!” petugas itu pun memberikan bungkusan kecil warna cokelat setelah aku memberikan tanda tanganku.

Dengan jantung berdebar-debar, perlahan kubuka bungkusan berwarna cokelat itu, sedetik kemudian mataku pun berbinar-binar melihat benda yang ada di dalamnya.......... Mukena berenda warna putih dan sepucuk surat.

Sayang, mukena ini khusus kukirim untukmu. Aku akan akan segera pulang. Tunggu aku ya!
           
Suamimu tercinta,
Bayu.

Air mataku pun langsung tumpah, dadaku sesak tak dapat menahan rasa bahagia ini. Suamiku, aku masih menunggumu.
readmore...

Afifah




Siang itu terasa terik sekali. Matahari dengan garangnya membakar bumi, tanpa ampun. Afifah hanya bisa sesekali menyeka keringat sambil terus mengerjakan pekerjaannya. Tangan-tangan kecilnya dengan cekatan membersihkan jalanan yang penuh dengan daun-daun berguguran. Seragam kuning lusuhnya tampak sangat kotor. kerudung yang tadinya putih bersih pun sudah berubah agak kecokelatan. Rasa lelah tak pelak mendera tubuhnya yang bukan perawakan pekerja keras seperti itu. Tapi, dengan senyum dan ketegaran, Afifah tak menggubris segala keluhan batinnya. Itu semua demi suami tercinta, Herman.

Sudah beberapa bulan belakangan ini Afifah menekuni pekerjaan sebagai penyapu jalanan. Sejak suaminya menderita kelumpuhan dan gangguan mental, maka Afifah harus rela bekerja banting tulang demi menghidupi dirinya dan suaminya. Walau berasal dari keluarga yang cukup mapan, tapi ia tak mau menggantungkan diri pada keluarga.

“Neng, cantik-cantik kok mau sih kerja beginian?” tanya Pak Marwan, sesama penyapu jalanan.

“Memang mau kerja apa lagi, Pak? Susah cari kerja di kota sekarang ini,” jawab Afifah masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Lho, bukannya Eneng ini sarjana ya?”

“Ah, Pak Marwan, saya ini cuma lulusan SMA, mana laku Pak? Lagipula saya nggak punya skill apapun.”

“Oh, tak kirain lulusan sarjana. Habisnya wajah Eneng mirip anaknya pejabat yang kemarin ada di koran sih.”

“Bapak ini bisa saja,” jawab Afifah sambil tersenyum kecut.

“Pejabat? Iya, saya memang anak pejabat, dulu. Tapi sekarang, walau saya menganggap mereka orang tua saya, toh mereka nggak nganggap saya anak,” batin Afifah dengan kristal-kristal bening mulai mengaburkan pandangannya.

“Neng? Kenapa nangis?”

“Ah, nggak kok, Pak. Cuma ada debu yang masuk, biasalah namanya juga kerja beginian sering banget kemasukan debu,” jawab Afifah bohong.

Afifah pun buru-buru membereskan peralatannya dan berpamitan pada Pak Marwan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu, kasihan mungkin. Kaki-kaki ringkihnya menyusuri jalan raya, panas terik tak ia hiraukan. Pekerjaan hari ini sudah cukup membuat badannya remuk. Ia ingin cepat pulang, suaminya pasti sudah menunggu kepulangannya. Dengan menenteng kresek berisi dua bungkus nasi, ia menyunggingkan senyum menuju istana yang ia bangun bersama suami tercinta.

“Assalamu’alaikum....,” sapa Afifah lembut pada suaminya yang sedang asyik bermain sedotan di depan rumah.”

“Waa...wa...wa...laikum....ssssalammm.,” jawab Herman dengan wajah sumringah mendengar suara Afifah. Seperti anak kecil yang mendapat mainan baru, ia langsung menggoncang-goncangkan tubuhnya di kursi roda.

Afifah menatap sendu pada suaminya, membelai dan mengecup keningnya. Perasaan haru pun menyelimuti. Entah kekuatan apa yang merasukinya hingga ia bisa bertahan sejauh ini mengarungi hidup bersama suaminya yang lumpuh dan cacat mental itu.
readmore...
Jasa Desain Cover