Oleh: Roma DP
Malam menggelayut di langit pekat. Rembulan pun enggan menyapaku. Hanya ada satu-dua bintang yang masih bersemangat menghiasi kepekatan malam. Lumayan, walau tak seterang biasanya, paling tidak itu tak membuatku tersesat dalam kegelapan. Aku terpaku di beranda rumah sambil menikmati sang raja malam menikam ruang kosong di depanku. Ditemani segelas anggur dan secawan luka yang menganga di hati, aku bersusah payah membangun benteng agar bendungan di kedua mataku tak jebol dan membanjir.
readmore...
Malam menggelayut di langit pekat. Rembulan pun enggan menyapaku. Hanya ada satu-dua bintang yang masih bersemangat menghiasi kepekatan malam. Lumayan, walau tak seterang biasanya, paling tidak itu tak membuatku tersesat dalam kegelapan. Aku terpaku di beranda rumah sambil menikmati sang raja malam menikam ruang kosong di depanku. Ditemani segelas anggur dan secawan luka yang menganga di hati, aku bersusah payah membangun benteng agar bendungan di kedua mataku tak jebol dan membanjir.
Kugigit bibir kuat-kuat. Nyeri. Tapi
tak senyeri hatiku yang telah terkoyak hingga tak berbentuk. Kini, hatiku
mungkin telah mati rasa bila dihadapkan dengan satu kata, cinta. Terlanjur
hebat gempa yang menggoncang jiwa. Hingga menghilangkan keyakinanku pada
seorang manusia yang disebut lelaki. Rasa sakit yang ditorehkan makhluk
berbentuk lelaki itu terlanjur menancap kuat. Bukan salahku jika seandainya aku
mengharamkan diriku untuk lelaki manapun.
Cukuplah setetes racun menghilangkan
aroma wanginya cinta yang pernah kuteguk. Lelaki itu, yang dengan
terang-terangan menuangkan setetes racun dalam madu. Membuat seluruh tubuhku
kini lunglai karenanya. Lelaki itu, yang mengolesi bibir pahitnya dengan
kata-kata manis hingga aku terhanyut dalam buaiannya. Lelaki itu, telah
menghujaniku dengan seribu rayuan di hadapan matahari, namun di hadapan
rembulan ia menghujamku dengan belati bermatakan dusta hingga menembus
jantungku. Lelaki itu, ah, aku benci
bila harus teringat dengannya. Aku jijik melihat bayangannya dalam benakku, aku
mual terngiang akan suaranya yang terus memenuhi ruang-ruang di telingaku. Aku
benar-benar membencinya setengah mati. Lelaki itu, tak pantas bahagia di depan
mataku.
***
Setahun lalu, tepat di bawah pohon
nusa indah yang kokoh tertancap di kampusku, dia -lelaki itu- menaburkan
benih-benih cinta di hatiku. Dan aku, -wanita bodoh ini- dengan senang hati
merawat benih itu hingga mekar menjadi bunga-bunga cinta yang memenuhi taman hati.
Lelaki itu tampak sempurna dengan kecerdasan dan janji setianya, aku luluh
seketika. Wanita tangguh ini telah kehilangan keangkuhan di depannya. Rela
menghinakan diri demi secawan cinta yang ditawarkan lelaki cassanova itu.
“Laras, di matamu terlihat jelas
masa depan kita,” bisiknya sambil menggenggam kedua tanganku. Semburat merah
jambu menjalar di pipiku seketika. Aku hanya tertunduk menahan rasa malu yang
tiba-tiba menyergapku. Saat itu aku benar-benar terlihat bodoh di hadapan
dunia.
“Masa depan apa?” tanyaku meminta
kepastian dari angan-anganku.
“Masa depan bahagia yang akan kita
rajut di kemudian hari. Aku dan kamu, duduk berdua di singgasana itu, membuat
iri dunia yang menatap kita.” Aku terbang hingga tak sadarkan diri.
Kata-katanya membuatku lupa kalau aku seorang manusia biasa, bukan bidadari
yang tersesat di bumi.
“Vin, apa kau mau serius denganku?”
tanyaku lagi. Kali ini aku ingin ia menghapus segala keraguan yang merundung
hatiku. Aku ingin dia meyakinkanku kalau perkataannya bukan hanya isapan jempol
belaka.
“Laras, apa kau melihat keraguan di
mataku? Bila kau melihatnya, maka kau boleh mengambil belati dan mencungkil
kedua mataku, hingga tak ada keraguan dalam setiap jengkal jiwa ragaku!”
katanya penuh ketegasan. Aku semakin melayang lebih tinggi dan tak menyadari kelak
aku akan terjatuh dan itu akan sangat sakit sekali.
“Vin, kau adalah yang pertama
memasuki hatiku dan merebut seluruh perhatianku. Aku tak ingin kau membuatku
malu telah rela menanggalkan keangkuhanku demi cintamu.” Aku menunduk semakin
dalam, takut wajahku yang tengah merah padam terlihat olehnya.
“Tak akan. Bahkan, jika kau
memintaku menanggalkan harga diri dan kehormatanku, aku akan lakukan. Semua itu
untukmu. Kau adalah singgahan terakhir dalam pengembaraan cintaku.” Begitulah
aku terperangkap dalam permainannya. Salahku yang terlalu percaya pada lidahnya
yang nyata-nyata telah bercabang dan melukai banyak hati. Salahku telah
menghancurkan dinding hatiku yang susah payah kubangun untuk mencegah lelaki
sepertinya masuk ke dalam salah satu ruang di hatiku.
Vino, lelaki yang salah kucintai itu
memang seorang playboy di kampusku.
Aku pun tahu sepak terjangnya. Seminggu, bahkan sehari ia bisa bergandengan
tangan dan berpeluk mesra dengan puluhan wanita yang berhasil ia butakan. Aku
yang belum pernah menganal cinta dan sengaja menutup hati untuk lelaki,
khususnya untuk playboy macam Vino,
ternyata berhasil dilumpuhkannya. Senjatanya benar-benar ampuh, aku menyerah
tanpa perlawanan.
Meski playboy, aku melihat keyakinan itu di matanya. Pancaran dari
matanya mengatakan kalau dia telah benar-benar insaf. Itulah yang membuatku
akhirnya menerima dia sebagai pengisi hatiku. Aku singkirkan segala prasangka
buruk tentangnya. Kututup telinga rapat-rapat dari bisikan-bisikan yang
menjatuhkannya. Aku sengaja memantapkan hatiku untuk yakin padanya.
Keyakinanku semakin terbukti ketika
hubungan kita mampu bertahan selama setengah tahun. Dia tak pernah kutemui
berbuat macam-macam dengan wanita manapun. Sikapnya telah benar-benar berubah
di mataku. Itu telah cukup membuatku membuang semua keraguan dalam benakku. Aku
memutuskan dialah yang akan menjadi dermagaku. Semua orang pun melihat iri pada
kami. Suara-suara yang tadinya memanasi telingaku, tak terdengar lagi.
Sepertinya aku telah berhasil meyakinkan semua orang bahwa Vino telah berubah untukku.
Aku pun semakin bangga karena telah berhasil menekukkan lutut seorang Vino di
hadapanku.
***
Dan seminggu lalu, tepat di bawah
pohon nusa indah yang masih kokoh berdiri di kampusku, dia-lelaki itu-menghujamkan
belati kedustaan tepat ke jantungku. Mengoyak seluruh jiwa ragaku,
meluluhlantakkan hatiku.
“Laras, maafkan aku. Ini bukan
inginku.” Saat itu bukan aku yang tertunduk malu, tapi dia yang tertunduk di
hadapanku. Entah karena rasa bersalah atau rasa bahagia telah berhasil
membuatku menjadi satu-satunya wanita bodoh di dunia ini.
Aku terdiam terpaku di hadapannya.
Mataku tak kuasa mengeluarkan air mata. Hanya hatiku tengah bergejolak menahan
amarah dan rasa sakit. Takkan kubiarkan ia melihat lelehan air hangat di
pipiku. Terlalu berharga air mataku bila harus terjatuh di depannya.
“Laras, aku harap kau tak marah
dengan semua ini,” katanya hingga membuatku benar-benar muak. Aku meremas
selembar undangan berwarna ungu yang sedari tadi kugenggam. Undangan yang
seharusnya ada ukiran nama kami berdua di dalamnya. Tapi, ternyata itu tak akan
pernah terjadi. Terlanjur ia memutuskan namanya bersanding dengan nama wanita
lain, bukan aku.
“Laras, aku benar-benar minta maaf
padamu. Tak ada sebersit pikiran pun untuk menyakitimu. Ini pilihan orang tuaku.
Aku tak bisa menolak.” Alasan klasik yang selalu diberikan seorang playboy macam dia. Dia telah benar-benar
mempermalukanku di hadapan dunia. Tak ada kata maaf untuknya. Bahkan secuil pun
takkan pernah ada.
***
Aku masih berdiri dengan segelas anggur
di beranda rumah. Bukan rumahku, tapi rumah Vino yang kini telah dihiasi bunga
warna-warni yang menebarkan semerbak wangi ke seluruh ruang kosong. Namun,
bagiku itu adalah wangi kematian untuk cintana, yang ternyata hanyalah sebuah
fatamorgana. Di balik punggungku terlihat sepasang manusia yang tengah
berbahagia di atas perihku. Vino dan wanitanya. Dan aku disini hanya bisa
menggigit bibirku keras-keras. Tak peduli walau darah segar telah menggantikan
warna merah lipstik di bibirku.
“Vin,
malam ini aku datang karena ingin mengucapkan selamat padamu, sekaligus
mengucapkan terima kasih karena telah menghancurkan hidupku. Kelak, aku takkan
sungkan untuk mencabut belati yang telah kau tancapkan dan berbalik
menghujamkannya padamu. Ingatlah, aku bukanlah wanita yang rela dipermalukan di
hadapan dunia!” janjiku dalam hati. Aku takkan menutup mata sebelum janjiku
itu terpenuhi. Suatu saat, aku akan benar-benar membuatnya terjerembab di
depanku. Tunggu saja!