Aku
duduk terdiam di bawah pohon beringin. Suasana siang ini memang begitu terik.
Peluh membanjiri kening juga kerudung biru laut yang membalut kepalaku. Kuperhatikan
sekelilingku, benar-benar tak ada tanda-tanda akan datangnya sesosok manusia
kesini. Di tengah kesunyian ini, pikiranku melayang jauh menembus masa lalu.
Senyum masa kecilku tampak samar, yang jelas terlihat hanya air mata yang
membanjiri sebagian masa hidupku. Aku tersenyum kecut mengingat itu semua. Aku
hanya peri kecil yang terbuang. Kata mereka aku manusia jalang, sampah
masyarakat. Sungguh terekam jelas perkataan mereka dalam memori otak yang tak
seberapa ini. Pedas dan menusuk. Sebenarnya apa salahku? Kerugian apa yang
ditanggung mereka karenaku? Moral, begitulah jawabnya.
Kadang
aku bertanya, dimana mereka yang menghujatku saat aku butuh uluran tangan?
Dimana mereka saat ibuku meregang nyawa karena kekurangan darah akibat
terlindas truk bermuatan pasir? Mereka pura-pura tak tahu dan menutup pintu
rapat-rapat. Mereka pura-pura tak mendengar saat aku merintih kelaparan. Mereka
berpaling saat aku membutuhkan sandaran. Lalu pantaskah mereka mencibir atas
keadaanku? Sekali lagi, aku hanya tersenyum kecut.
Matahari
masih pada posisinya saat aku kembali mengusap peluh yang mengucur. Keadaan masih
sunyi. Kembali aku menyusuri lorong waktu. Mengingat betapa mirisnya awal
ungkapan “wanita penghibur” melekat padaku. Ayahku tak tahu kemana saat berhasil
membuat ibu mengandung, sedang ibu telah tenang bersama-Nya. Sejak saat itu aku
hanya hidup dari tutup-tutup botol minuman berkarbonasi yang kususun di atas
sepotong kayu. Jangan tanya dimana mereka yang menghujatku! Setetes air pun tak
pernah terulur dari tangan mereka.
Ternyata
semakin beranjak remaja, hidup tak cukup hanya dari tutup botol saja. Aku mulai
bergerak, mencari penghidupan lain. Pergerakan itu membawaku pada suatu
kehidupan kelam. Mereka menyebutnya “prostitusi”. Aku tak tahu apa itu artinya,
yang kutahu aku bisa menghasilkan uang dalam semalam. Aku juga tak tahu kenapa
mereka mulai mengusikku sejak saat itu. Bukankah mereka tak peduli dengan
kehidupanku? Lalu kenapa malah menggangguku? Aku benar-benar tak mengerti.
“Dis,”
tegur seseorang di dari belakang. Aku terhenyak. Sesosok wanita cantik berbalut
jilbab putih bersih, tersenyum manis padaku. Dokter Faizah.
“Ya,
Dokter?” aku menatapnya dengan mata sayu.
“Saya
cemas lho nyariin kamu, ayo kita kembali ke kamar!” ajak dokter Faizah. Aku
hanya mengangguk menerima ajakannya. Sudah beberapa bulan ini aku dirawat oleh
dokter Faizah di rumah sakit. Dia berbaik hati mengulurkan tangan saat aku
terkapar tak berdaya karena suntikan zat adiktif. Dia yang mengenalkanku pada
Tuhan. Dia yang tak menjauh saat HIV menggerogoti tubuhku. Aku benar-benar
beruntung bertemu dengannya di akhir perjalanan hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar