Social Icons

Minggu, 20 Mei 2012

Mencari Kehidupan


Aku duduk terdiam di bawah pohon beringin. Suasana siang ini memang begitu terik. Peluh membanjiri kening juga kerudung biru laut yang membalut kepalaku. Kuperhatikan sekelilingku, benar-benar tak ada tanda-tanda akan datangnya sesosok manusia kesini. Di tengah kesunyian ini, pikiranku melayang jauh menembus masa lalu. Senyum masa kecilku tampak samar, yang jelas terlihat hanya air mata yang membanjiri sebagian masa hidupku. Aku tersenyum kecut mengingat itu semua. Aku hanya peri kecil yang terbuang. Kata mereka aku manusia jalang, sampah masyarakat. Sungguh terekam jelas perkataan mereka dalam memori otak yang tak seberapa ini. Pedas dan menusuk. Sebenarnya apa salahku? Kerugian apa yang ditanggung mereka karenaku? Moral, begitulah jawabnya.

Kadang aku bertanya, dimana mereka yang menghujatku saat aku butuh uluran tangan? Dimana mereka saat ibuku meregang nyawa karena kekurangan darah akibat terlindas truk bermuatan pasir? Mereka pura-pura tak tahu dan menutup pintu rapat-rapat. Mereka pura-pura tak mendengar saat aku merintih kelaparan. Mereka berpaling saat aku membutuhkan sandaran. Lalu pantaskah mereka mencibir atas keadaanku? Sekali lagi, aku hanya tersenyum kecut.

Matahari masih pada posisinya saat aku kembali mengusap peluh yang mengucur. Keadaan masih sunyi. Kembali aku menyusuri lorong waktu. Mengingat betapa mirisnya awal ungkapan “wanita penghibur” melekat padaku. Ayahku tak tahu kemana saat berhasil membuat ibu mengandung, sedang ibu telah tenang bersama-Nya. Sejak saat itu aku hanya hidup dari tutup-tutup botol minuman berkarbonasi yang kususun di atas sepotong kayu. Jangan tanya dimana mereka yang menghujatku! Setetes air pun tak pernah terulur dari tangan mereka.

Ternyata semakin beranjak remaja, hidup tak cukup hanya dari tutup botol saja. Aku mulai bergerak, mencari penghidupan lain. Pergerakan itu membawaku pada suatu kehidupan kelam. Mereka menyebutnya “prostitusi”. Aku tak tahu apa itu artinya, yang kutahu aku bisa menghasilkan uang dalam semalam. Aku juga tak tahu kenapa mereka mulai mengusikku sejak saat itu. Bukankah mereka tak peduli dengan kehidupanku? Lalu kenapa malah menggangguku? Aku benar-benar tak mengerti.

“Dis,” tegur seseorang di dari belakang. Aku terhenyak. Sesosok wanita cantik berbalut jilbab putih bersih, tersenyum manis padaku. Dokter Faizah.

“Ya, Dokter?” aku menatapnya dengan mata sayu.

“Saya cemas lho nyariin kamu, ayo kita kembali ke kamar!” ajak dokter Faizah. Aku hanya mengangguk menerima ajakannya. Sudah beberapa bulan ini aku dirawat oleh dokter Faizah di rumah sakit. Dia berbaik hati mengulurkan tangan saat aku terkapar tak berdaya karena suntikan zat adiktif. Dia yang mengenalkanku pada Tuhan. Dia yang tak menjauh saat HIV menggerogoti tubuhku. Aku benar-benar beruntung bertemu dengannya di akhir perjalanan hidupku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Desain Cover