Siang
itu terasa terik sekali. Matahari dengan garangnya membakar bumi, tanpa ampun.
Afifah hanya bisa sesekali menyeka keringat sambil terus mengerjakan
pekerjaannya. Tangan-tangan kecilnya dengan cekatan membersihkan jalanan yang
penuh dengan daun-daun berguguran. Seragam kuning lusuhnya tampak sangat kotor.
kerudung yang tadinya putih bersih pun sudah berubah agak kecokelatan. Rasa
lelah tak pelak mendera tubuhnya yang bukan perawakan pekerja keras seperti
itu. Tapi, dengan senyum dan ketegaran, Afifah tak menggubris segala keluhan
batinnya. Itu semua demi suami tercinta, Herman.
Sudah
beberapa bulan belakangan ini Afifah menekuni pekerjaan sebagai penyapu
jalanan. Sejak suaminya menderita kelumpuhan dan gangguan mental, maka Afifah
harus rela bekerja banting tulang demi menghidupi dirinya dan suaminya. Walau
berasal dari keluarga yang cukup mapan, tapi ia tak mau menggantungkan diri
pada keluarga.
“Neng,
cantik-cantik kok mau sih kerja beginian?” tanya Pak Marwan, sesama penyapu
jalanan.
“Memang
mau kerja apa lagi, Pak? Susah cari kerja di kota sekarang ini,” jawab Afifah
masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Lho,
bukannya Eneng ini sarjana ya?”
“Ah,
Pak Marwan, saya ini cuma lulusan SMA, mana laku Pak? Lagipula saya nggak punya
skill apapun.”
“Oh,
tak kirain lulusan sarjana. Habisnya wajah Eneng mirip anaknya pejabat yang
kemarin ada di koran sih.”
“Bapak
ini bisa saja,” jawab Afifah sambil tersenyum kecut.
“Pejabat? Iya, saya memang anak
pejabat, dulu. Tapi sekarang, walau saya menganggap mereka orang tua saya, toh
mereka nggak nganggap saya anak,” batin Afifah dengan
kristal-kristal bening mulai mengaburkan pandangannya.
“Neng?
Kenapa nangis?”
“Ah,
nggak kok, Pak. Cuma ada debu yang masuk, biasalah namanya juga kerja beginian
sering banget kemasukan debu,” jawab Afifah bohong.
Afifah
pun buru-buru membereskan peralatannya dan berpamitan pada Pak Marwan yang
masih menatapnya dengan tatapan sendu, kasihan mungkin. Kaki-kaki ringkihnya
menyusuri jalan raya, panas terik tak ia hiraukan. Pekerjaan hari ini sudah
cukup membuat badannya remuk. Ia ingin cepat pulang, suaminya pasti sudah
menunggu kepulangannya. Dengan menenteng kresek
berisi dua bungkus nasi, ia menyunggingkan senyum menuju istana yang ia bangun
bersama suami tercinta.
“Assalamu’alaikum....,”
sapa Afifah lembut pada suaminya yang sedang asyik bermain sedotan di depan
rumah.”
“Waa...wa...wa...laikum....ssssalammm.,”
jawab Herman dengan wajah sumringah mendengar suara Afifah. Seperti anak kecil
yang mendapat mainan baru, ia langsung menggoncang-goncangkan tubuhnya di kursi
roda.
Afifah
menatap sendu pada suaminya, membelai dan mengecup keningnya. Perasaan haru pun
menyelimuti. Entah kekuatan apa yang merasukinya hingga ia bisa bertahan sejauh
ini mengarungi hidup bersama suaminya yang lumpuh dan cacat mental itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar