Social Icons

Minggu, 20 Mei 2012

Afifah




Siang itu terasa terik sekali. Matahari dengan garangnya membakar bumi, tanpa ampun. Afifah hanya bisa sesekali menyeka keringat sambil terus mengerjakan pekerjaannya. Tangan-tangan kecilnya dengan cekatan membersihkan jalanan yang penuh dengan daun-daun berguguran. Seragam kuning lusuhnya tampak sangat kotor. kerudung yang tadinya putih bersih pun sudah berubah agak kecokelatan. Rasa lelah tak pelak mendera tubuhnya yang bukan perawakan pekerja keras seperti itu. Tapi, dengan senyum dan ketegaran, Afifah tak menggubris segala keluhan batinnya. Itu semua demi suami tercinta, Herman.

Sudah beberapa bulan belakangan ini Afifah menekuni pekerjaan sebagai penyapu jalanan. Sejak suaminya menderita kelumpuhan dan gangguan mental, maka Afifah harus rela bekerja banting tulang demi menghidupi dirinya dan suaminya. Walau berasal dari keluarga yang cukup mapan, tapi ia tak mau menggantungkan diri pada keluarga.

“Neng, cantik-cantik kok mau sih kerja beginian?” tanya Pak Marwan, sesama penyapu jalanan.

“Memang mau kerja apa lagi, Pak? Susah cari kerja di kota sekarang ini,” jawab Afifah masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Lho, bukannya Eneng ini sarjana ya?”

“Ah, Pak Marwan, saya ini cuma lulusan SMA, mana laku Pak? Lagipula saya nggak punya skill apapun.”

“Oh, tak kirain lulusan sarjana. Habisnya wajah Eneng mirip anaknya pejabat yang kemarin ada di koran sih.”

“Bapak ini bisa saja,” jawab Afifah sambil tersenyum kecut.

“Pejabat? Iya, saya memang anak pejabat, dulu. Tapi sekarang, walau saya menganggap mereka orang tua saya, toh mereka nggak nganggap saya anak,” batin Afifah dengan kristal-kristal bening mulai mengaburkan pandangannya.

“Neng? Kenapa nangis?”

“Ah, nggak kok, Pak. Cuma ada debu yang masuk, biasalah namanya juga kerja beginian sering banget kemasukan debu,” jawab Afifah bohong.

Afifah pun buru-buru membereskan peralatannya dan berpamitan pada Pak Marwan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu, kasihan mungkin. Kaki-kaki ringkihnya menyusuri jalan raya, panas terik tak ia hiraukan. Pekerjaan hari ini sudah cukup membuat badannya remuk. Ia ingin cepat pulang, suaminya pasti sudah menunggu kepulangannya. Dengan menenteng kresek berisi dua bungkus nasi, ia menyunggingkan senyum menuju istana yang ia bangun bersama suami tercinta.

“Assalamu’alaikum....,” sapa Afifah lembut pada suaminya yang sedang asyik bermain sedotan di depan rumah.”

“Waa...wa...wa...laikum....ssssalammm.,” jawab Herman dengan wajah sumringah mendengar suara Afifah. Seperti anak kecil yang mendapat mainan baru, ia langsung menggoncang-goncangkan tubuhnya di kursi roda.

Afifah menatap sendu pada suaminya, membelai dan mengecup keningnya. Perasaan haru pun menyelimuti. Entah kekuatan apa yang merasukinya hingga ia bisa bertahan sejauh ini mengarungi hidup bersama suaminya yang lumpuh dan cacat mental itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Desain Cover