Social Icons

Sabtu, 19 Mei 2012

Cintakah?


 Orang-orang bilang dia adalah psikopat. Aneh dan tak wajar. Tapi, di mataku dia beda. Unik. Bukan kumenutup mata atas semua kelakuan ganjilnya, namun aku malah melihatnya sebagai daya tarik. Sorot matanya yang tajam seakan ingin menelan hidup-hidup setiap orang yang ada di hadapannya itu telah membuatku jatuh hati. Juga cekungan di sekeliling bola matanya yang menghitam adalah pesona tersendiri. Rambut gimbal dan bibir yang pucat, itu eksotis menurutku. Aku benar-benar tak peduli ketika orang lain sudah menganggapku gila karena penilaianku itu.

“Dia psikopat, tak normal!” ucap seorang teman padaku.

“Tidak, dia hanya sedikit berbeda dari orang kebanyakan dan itulah yang membuatnya menarik. Aku suka.”

“Apa kau tak ingat Wati, Ningsih, Wulan, juga Kinan?”

“Aku ingat. Tapi aku tak percaya!” tegasku. Palu sudah kuketuk dan telah kuputuskan untuk menutup telinga rapat-rapat dari gunjingan orang yang selalu berdengung seperti tawon di telinga. Terserah orang mau menganggapku bebal atau apa. “Inilah cinta, kawan!” ucapku dalam hati.

Tanpa kuduga, dia membalas perasaanku, masih dengan sorot tajam matanya. Dia telah menabuh genderang dalam hatiku dan menghapus kidung sunyi yang telah lama bersemayam dalam jiwa. Aku bahagia, walau kutahu orang lain semakin cemas melihatku terseret lebih jauh ke dalam lingkaran hidup lelaki bermata sayu itu.

Suatu sore, lelaki itu mengajakku bertandang ke rumahnya. Dia bilang akan memperkenalkanku dengan kedua orang tuanya. Tentu saja kuterima dengan senang hati. Dengan sikapnya yang dingin, ia menggandeng tanganku menuju rumah yang sedari telah ia ceritakan. Rumah yang katanya penuh cinta. Tapi, aku tak tahu apa maksudnya.

Rumah itu, mungkin jika orang lain yang melihat akan mengira bahwa itu adalah rumah tua yang tak berpenghuni. Namun, tidak bagiku, itulah lukisan kenyamanan. Cat putih yang sudah kusam dan terkelupas sana-sini. Tumbuhan merambat yang menyelubungi tembok-tembok rumahnya. Tak ketinggalan pohon akasia dan kamboja yang berdiri gagah di depan rumah. Aku menyukainya.

Dia membawaku masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang unik, seperti pemiliknya. Dia terus menggandengku hingga sampai ke sebuah ruangan yang berukuran cukup lebar.

“Kamarmu?” tanyaku. Dia hanya mengangguk dan meninggalkanku disana sendirian.

Kuamati sekeliling ruangan itu. Gelap dan pengap. Ia menutup semua jendela dengan gorden yang cukup tebal. Penerangan hanya berupa lampu lima watt yang sudah hampir mati. Bau tak sedap segera saja menusuk-nusuk hidungku. Ah, sepertinya aku pernah mencium bau ini, tapi dimana? Aku lupa.
Ada cermin cukup besar yang bersandar di tembok ruangan itu. Di sisi lain, berhadapan dengan cermin itu, berjejer benda dari kayu seukuran lemari, tapi tak hanya satu, ada lima. Penasaran, kudekati benda itu, kuraba dan kurasakan ada ukiran di situ. Bentuknya unik, seperti benda yang sering kulihat di toko depan rumahku.

“Ada apa?” Aku tersentak ketika mengetahui  lelaki itu sudah berada tepat di belakangku.           

“Eh, tidak. Aku hanya penasaran dengan benda ini,” kutunjuk jejeran benda yang sedari tadi menarik perhatianku itu.

“Oh, itu. Itu cinta,”

“Cinta? Apa maksudmu?” Aku mengerutkan kening. Tak mengerti apa yang dia ucapkan tadi.

“Sebentar lagi kau akan tahu.” Lagi-lagi aku mengerutkan kening. Sedetik kemudian aku baru mencerna kata-katanya saat kulihat sorot tajam matanya yang tiba-tiba berubah. Mataku beralih pada cermin besar yang dipunggunginya itu. Ah, itulah yang kusesalkan. Bola mataku menangkap benda tajam berkilauan tergenggam kuat di balik punggung lelaki itu. Otakku liar berpikir dan akhirnya aku bisa menebak apa yang kira-kira tersembunyi dalam benda yang terbuat dari kayu seperti lemari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Desain Cover