“Dia
psikopat, tak normal!” ucap seorang teman padaku.
“Tidak,
dia hanya sedikit berbeda dari orang kebanyakan dan itulah yang membuatnya
menarik. Aku suka.”
“Apa
kau tak ingat Wati, Ningsih, Wulan, juga Kinan?”
“Aku
ingat. Tapi aku tak percaya!” tegasku. Palu sudah kuketuk dan telah kuputuskan
untuk menutup telinga rapat-rapat dari gunjingan orang yang selalu berdengung
seperti tawon di telinga. Terserah orang mau menganggapku bebal atau apa. “Inilah cinta, kawan!” ucapku dalam
hati.
Tanpa
kuduga, dia membalas perasaanku, masih dengan sorot tajam matanya. Dia telah
menabuh genderang dalam hatiku dan menghapus kidung sunyi yang telah lama
bersemayam dalam jiwa. Aku bahagia, walau kutahu orang lain semakin cemas
melihatku terseret lebih jauh ke dalam lingkaran hidup lelaki bermata sayu itu.
Suatu
sore, lelaki itu mengajakku bertandang ke rumahnya. Dia bilang akan
memperkenalkanku dengan kedua orang tuanya. Tentu saja kuterima dengan senang
hati. Dengan sikapnya yang dingin, ia menggandeng tanganku menuju rumah yang
sedari telah ia ceritakan. Rumah yang katanya penuh cinta. Tapi, aku tak tahu
apa maksudnya.
Rumah
itu, mungkin jika orang lain yang melihat akan mengira bahwa itu adalah rumah
tua yang tak berpenghuni. Namun, tidak bagiku, itulah lukisan kenyamanan. Cat
putih yang sudah kusam dan terkelupas sana-sini. Tumbuhan merambat yang
menyelubungi tembok-tembok rumahnya. Tak ketinggalan pohon akasia dan kamboja
yang berdiri gagah di depan rumah. Aku menyukainya.
Dia membawaku masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang unik, seperti pemiliknya. Dia terus menggandengku hingga sampai ke sebuah ruangan yang berukuran cukup lebar.
“Kamarmu?”
tanyaku. Dia hanya mengangguk dan meninggalkanku disana sendirian.
Kuamati
sekeliling ruangan itu. Gelap dan pengap. Ia menutup semua jendela dengan gorden
yang cukup tebal. Penerangan hanya berupa lampu lima watt yang sudah hampir mati.
Bau tak sedap segera saja menusuk-nusuk hidungku. Ah, sepertinya aku pernah
mencium bau ini, tapi dimana? Aku lupa.
Ada
cermin cukup besar yang bersandar di tembok ruangan itu. Di sisi lain,
berhadapan dengan cermin itu, berjejer benda dari kayu seukuran lemari, tapi
tak hanya satu, ada lima. Penasaran, kudekati benda itu, kuraba dan kurasakan
ada ukiran di situ. Bentuknya unik, seperti benda yang sering kulihat di toko
depan rumahku.
“Ada
apa?” Aku tersentak ketika mengetahui lelaki
itu sudah berada tepat di belakangku.
“Eh,
tidak. Aku hanya penasaran dengan benda ini,” kutunjuk jejeran benda yang
sedari tadi menarik perhatianku itu.
“Oh,
itu. Itu cinta,”
“Cinta?
Apa maksudmu?” Aku mengerutkan kening. Tak mengerti apa yang dia ucapkan tadi.
“Sebentar lagi kau akan tahu.” Lagi-lagi aku mengerutkan kening. Sedetik kemudian aku baru mencerna kata-katanya saat kulihat sorot tajam matanya yang tiba-tiba berubah. Mataku beralih pada cermin besar yang dipunggunginya itu. Ah, itulah yang kusesalkan. Bola mataku menangkap benda tajam berkilauan tergenggam kuat di balik punggung lelaki itu. Otakku liar berpikir dan akhirnya aku bisa menebak apa yang kira-kira tersembunyi dalam benda yang terbuat dari kayu seperti lemari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar