Rinai
hujan mulai membasahi bunga-bunga mawar di depan rumahku. Kelopak mataku
berkedip-kedip memandang syahdunya pemandangan senja ini. Tak terasa jiwaku pun
ikut merasakan kesejukannya. Jauh meresap ke dalam dada. Meredam percikan-percikan
api amarah yang menyelubungi hatiku.
Aku
mengalihkan pandangan pada melati yang tumbuh merambat di pagar rumah. Bunganya
putih bersih, harum baunya mampu menghipnotis kumbang-kumbang. Aku pun
terperangah pada keelokannya. Memang benar-benar bunga yang menawan, Jasmine,
seperti nama kakakku. Kakakku memang cantik, tak hanya parasnya, tapi juga
hatinya. Tak pernah kuberjumpa orang secantik kakakku. Kecantikan alami dari
Tuhan yang benar-benar membuatku iri padanya.
Aku
selalu membandingkan diriku dengan kakakku. Kenapa aku yang adik kandungnya tak
bisa secantik dirinya? Setiap menatap wajahnya, aku hanya bisa tersenyum kecut,
tapi dalam hati mengaguminya. Entah perasaan apa yang aku rasakan, hanya
sekedar irikah? Aku pun tak mengerti itu.
Ada SMS ... Ada SMS ... Ada SMS....
Tiba-tiba
handphone-ku berbunyi, pertanda ada
pesan masuk. Cepat kulihat layar yang sudah berkedip-kedip. Elang.
“Kamu
dimana?” begitulah bunyi sms yang masuk dari Elang. Ya, Elang kekasihku yang
sudah berhasil membuatku galau itu.
“Di
rumah,” kuketikkan beberapa huruf padanya, lalu kutekan send.
Ah,
dia selalu bisa membuatku galau. Walau begitu, aku tak bisa marah padanya.
Mungkin aku terlalu sayang dan cinta, hingga mampu mengubur amarahku.
Ada SMS ... Ada SMS ... Ada SMS
....
Secepat
kilat ia membalas SMS-ku, tak seperti biasa. Kutekan Read.
“Aku
kesana sekarang,” singkat, padat, dan jelas. Ah, seperti biasa, tak pernah bisa
sedikit berbasa-basi padaku. Tak ada kata sayang, cinta, maupun rindu yang
terselip diantara huruf-huruf dalam SMS-nya. Membuatku semakin tak karuan. Mau
marah, tapi tak bisa.
“Dis,
kamu kenapa?” tiba-tiba kakakku menepuk pundakku dari belakang.
“Eh
... nggak apa-apa kok, Kak,” jawabku sedikit kaget.
“Nggak
mungkin, pasti ada apa-apanya deh! Bendungannya udah mau rubuh tuh!” Kakakku
mengusap lembut pipiku.
“Ah, kenapa kau malah sebaik ini padaku?
Padahal aku sempat iri dan benci padamu?” Batinku.
“Elang
mau kesini katanya dan aku belum siap mendengar apa yang akan dikatakannya, pasti
dia bakalan lebih milih kakak kan?” Linangan air mata mulai jatuh dari mataku,
mengalir lamban di pipiku. Kakakku hanya membisu.
Elang,
kekasihku, ternyata dia juga mencintai kakakku. Seminggu yang lalu ia
mengakuinya. Hatiku seperti remuk rasanya. Aku sadar, aku memang tak lebih baik
dari kakakku. Dia hampir sempurna, sedangkan aku? Berdiri saja masih butuh
penyangga agar tubuhku tak roboh. Tapi, sebisanya aku ikhlas dengan pilihan
Elang nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar