Malam ini rembulan begitu mempesona. Bumi bersorak gembira menyambutnya. Begitupun aku, yang diam-diam menyimpan kebahagiaan yang membuncah dalam dada. Aku melihat rembulan yang seakan tersenyum padaku, mengatakan bahwa ia merestuiku. Aku mengangguk perlahan padanya, lalu buru-buru masuk ke kamar dan menemui kekasihku.
Oh, dia sudah duduk manis di sana. Malam ini dia terlihat
sangat cantik. Wajahnya seterang rembulan yang saat ini bersinar dengan
indahnya. Kedua matanya mampu menenggelamkanku dalam perasaan yang begitu
dalam. Sedang bibirnya semerah mawar, hingga aku dapat mencium wanginya kala
kudekati. Kutatap lekat wajahnya, ada gelombang dalam dada yang mampu
menggoncangkan seluruh jiwaku. Aku telah terperangkap dalam dunia yang entah
bernama apa. Hanya ada kami berdua, aku dan dia.
"Kau begitu cantik malam ini," bisikku perlahan.
Sengaja kukecilkan suaraku agar orang rumah tak mendengar. Aku tak mau kalau
sampai mereka tahu aku menyimpan bidadari dalam kamarku.
"Ingin rasanya aku mengajakmu keluar malam ini. Kita
melihat bulan yang cantik, juga merasakan semilir angin yang sejuk. Kau pasti
senang," bisikku lagi. Namun, dia hanya tersenyum memandangiku. Sepertinya
dia masih malu-malu, walau ini sudah malam kesekian aku menemaninya.
Aku semakin terpesona ketika wajahnya mulai memerah. Inilah
kecantikan luar biasa yang pernah kulihat. Ini juga yang membuatku jatuh cinta
saat pertama kali melihatnya, beberapa hari yang lalu. Selama ini aku tak
percaya dengan yang namanya bidadari. Namun, saat menemukannya, barulah
aku percaya. Saat itu aku mengira dia
adalah Nawang Wulan yang kehilangan selendangnya sehingga tak bisa lagi kembali
ke khayangan. Aku berharap menjadi Jaka Tarub yang menemukan selendang dan
memperistrinya, tapi aku tak ingin jika kelak ia menemukan selendangnya dia
akan meninggalkanku dan kembali ke asalnya. Aku tak ingin itu semua terjadi.
Jadi, jika benar dia Nawang Wulan, akan kucari selendangnya sampai ketemu, lalu
kubakar selendang itu hingga ia tak bisa lagi kembali. Ah, pikiran jahat itu
muncul begitu saja, mungkin aku yang terlalu mencintainya hingga tak ingin dia
terlepas begitu saja.
Aku, lelaki yang tak pernah mengenal cinta tiba-tiba saja
tunduk pada perempuan yang kini berada tepat di hadapanku dengan senyumnya yang
menawan. Entah racun apa yang sudah dia masukkan ke dalam makananku sehingga
aku begitu tergila-gila padanya. Atau jangan-jangan dia memakai semacam pelet
yang mampu membuat orang yang memandangnya menjadi jatuh cinta. Aku sering
melihat hal seperti itu di film-film. Apapun yang dia lakukan, aku tak peduli.
Aku tetap mencintainya.
"Sayang, malam ini sangat romantis. Aku tak ingin
malam ini segera berakhir. Aku masih ingin memandangmu. Apa kau tak keberatan
menemaniku sampai esok pagi?" Tanyaku penuh harap.
Dia mengangguk. Aku melonjak girang. Meski tanpa sepatah
katapun itu cukup membuatku terbang. Aku begitu bahagia malam ini. Rembulan pun
mendukung dengan cahayanya yang mampu menembus jendela kamarku. Aku terus
memandanginya. Wajahnya begitu teduh dan menyejukkan. Benar-benar layak jika
kupanggil dia bidadari. Ya, bidadari yang sengaja langit turunkan untuk
menemaniku.
“Sepertinya tak hanya malam ini saja. Apa besok kau juga
mau menemaniku sampai pagi lagi?” Dia berhenti tersenyum. Raut wajahnya berubah
seketika. Matanya menatap sayu padaku.
“Kenapa? Apa kau tak mau menemaniku?” Kecewa tersirat dalam
setiap tanyaku.
“Oh, ya mungkin kau lelah menemaniku setiap hari ya? Tak
apalah, kapan saja kau datang aku akan menunggumu di sini,” kataku sembari
tersenyum, berharap ia juga kembali tersenyum seperti semula. Aku sungguh tak
rela kehilangan senyum itu malam ini. Senyum yang mampu meruntuhkan setiap
gunung egoku, memadamkan setiap kobaran amarahku.
***
Mataku mengerjap-ngerjap, silau oleh cahaya matahari yang
melewati jendela yang semalam lupa kututup.
“Sial, lagi-lagi aku ketiduran,” rutukku. Kutegakkan posisi
dudukku.
“Ah, dia sudah pergi. Padahal semalam aku yang menyuruhnya
menemaniku sampai pagi.” Aku sedikit kesal.
Aku buru-buru menuju kamar mandi dan bersiap-siap. Hari ini
ada kuliah pagi dan mungkin akan pulang agak larut lagi. Memang hari-hari yang
sangat melelahkan. Andai saja tak ada bidadari itu, mungkin aku sudah depresi.
Sebelum melangkah keluar kamar kusempatkan melirik tempat bertemu bidadariku
semalam. “Apa malam ini kau akan datang lagi?” Batinku. Perlahan kututup
pintu kamar, ada sedikit ketidakrelaan meninggalkan kamar.
“Bagaimana kalau siang ini dia datang lagi? Bagaimana
kalau dia tak menemukanku di sana?” tanyaku dalam hati. Sedetik kemudian
pikiranku tegas membantah, “Ah, tak mungkin. Dia hanya akan datang malam
hari.” Aku berjalan santai ke kampus sembari berharap malam segera
menjelang, agar aku bisa lekas menemui bidadariku lagi.
***
Senja memerah di ufuk barat. Aku menyiapkan secangkir kopi
dan sebatang rokok yang telah mengepul dintara telunjuk dan jari tengah. Aku
menunggu rembulan kembali muncul membawa bidadari ke hadapanku malam ini.
Rasanya tak sabar ingin membagi cerita sepanjang hari ini padanya. Pasti ia
akan tersenyum, bahkan tertawa senang mendengarnya.
Langit mulai gelap. Samar sinar rembulan tampak pucat.
Belum juga ada tanda-tanda bidadariku itu datang. Memang aku yang terlalu awal
menunggunya, biasanya ia akan datang jika langit telah benar-benar gelap. Lama
aku menunggu, satu jam, dua jam, hampir tiga jam bidadariku belum tampak juga.
Padahal mataku sudah semakin berat. Akhirnya aku terlelap sebelum sempat
kulihat bidadari itu menyapaku.
Pukul dua belas malam, aku terkesiap. Tiba-tiba saja
terbangun dari tidurku. Aku mendongakkan kepala, kudapati seulas senyum manis
di hadapanku. Langsung kutegakkan posisi dudukku.
“Maaf, aku ketiduran,” kusapa dia dengan malu-malu. Seperti
biasa, dia hanya terseyum memandangku. Seperti biasa pula aku cukup senang
dengan reaksinya itu.
“Apa kau tadi lama menungguku?” Tanyaku. Aku merasa tak
enak membiarkannya menunggu. Namun, dia hanya menggelengkan kepalanya –masih
dengan senyum.
“Syukurlah, aku kira kau tak akan datang malam ini ....”
Aku senang menemuinya kembali malam ini. Malam ini sungguh indah, kulewati dengan
bidadari cantik di hadapanku. Berbagai cerita tentang hari-hariku mengalir
begitu saja, hingga tak kusadari mata sayu itu kembali menghiasi wajah sang
bidadari.
“Kamu kenapa lagi? Apa ceritaku membosankan?” Tanyaku penuh
khawatir. Dia menggeleng perlahan.
“Lalu kenapa raut wajahmu tiba-tiba begitu berubah?” Dia
hanya terdiam menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Ada sirat kesedihan
yang begitu mendalam terpancar dari matanya, namun bibirnya tetap terkatup
rapat. Aku tak bisa memahami dirinya saat ini.
Kami hanya terdiam selama beberapa jam menjelang pagi. Aku
terus memandanginya, berharap kali ini mau mengecapkan satu kata padaku. Namun
sayang, ia tetap pada dirinya, diam seribu bahasa. Aku putus asa sampai rasa
kantuk menyerangku. Tak sadar lagi-lagi aku tertidur di hadapannya.
Pukul tujuh pagi, jiwaku kembali pada tempatnya setelah
melalangbuana di alam mimpi. Seperti biasa, tak lagi kudapati bidadari itu di
hadapanku. Bibirku tak henti-hentinya memaki diri sendiri sebelum akhirnya
kuputuskan untuk bersiap-siap dan berangkat ke kampus.
***
Ini malam kesekian aku menunggunya di kamar, tapi kali ini
tanpa sinar rembulan. Cahaya redup lampu kamar tak bisa menggantikan indahnya
pancaran rembulan. Dua gelas kopi dan beberapa batang rokok telah kandas, meski
waktu belum menunjukkan tengah malam. Aku duduk di tempat biasa, resah menunggu
datangnya bidadariku. Entah kenapa firasatku kali ini tak enak, seperti ada
sesuatu yang hilang. Entah apa itu.
Malam semakin pekat, kulirik jam weker di meja, tengah
malam baru saja berlalu. Ini membuat perasaanku semakin tak enak. Bidadari yang
kunanti tak kunjung muncul. Seksama kuperhatikan benda di depanku dan di
sanalah tak sengaja kutemukan sesuatu. Bagai tersengat listrik beribu-ribu volt,
tubuhku gemetar tak karuan. Segera aku beranjak dari tempat dudukku, berlari
sambil berteriak histeris.
“Ibu ... Ibu ....” Aku berlari menuju kamar Ibu.
Kugedor-gedor pintu kamarnya. Aku tak peduli meski ini tengah malam sekalipun.
“Ibu ... buka Ibu ....” Aku masih histeris di depan kamar
Ibu. Tak lama pintu kamar Ibu tergesa-gesa dibuka. Tersembul wajah kusut Ibu
yang masih terkantuk.
“Ada apa kamu tengah malam begini teriak-teriak?”
“Ibu, apa yang Ibu lakukan pada cermin di kamarku?” Aku
menggoncang-goncang bahu Ibu.
“Oh, itu. Tadi siang sewaktu membersihkan kamarmu tak
sengaja Ibu memecahkannya. Cermin itu hancur berkeping-keping, lalu ibu ganti
dengan yang baru,” kata Ibu santai.
Aku langsung terduduk lemas. Syaraf-syarafku seakan lumpuh.
Tak kupedulikan lagi air mata yang kini membanjir di pipi. Sekarang, tak akan
pernah lagi kutemukan bidadari itu di kamarku. Ibu baru saja membunuh
bidadariku.
========== THE END
==========
Tidak ada komentar:
Posting Komentar