Social Icons

Kamis, 12 April 2012

Terbelenggu Rindu



        Bukan salah siapa-siapa aku begini. Kekonyolan tingkah lakuku memang tak bisa dikendalikan. Orang bilang aku ababil, yang akhirnya membuatku terpuruk. Selama sembilan belas tahun perjalanan hidupku, baru kali ini kurasakan perasaan hampa mahadahsyat seperti ini. Hanya sendiri berdiri di tengah luasnya jagad raya. Bertumpukan kerapuhan jiwa. Terombang-ambing pada lautan kehidupan yang makin mengganas. Tanpanya aku bagai putik dandelion yang terbawa angin.
        Pagi ini kucoba membuka kembali lembaran-lembaran usang dalam memoriku. Masih terekam jelas walau berselimutkan debu dusta dan durhaka. Manisnya masih terasa walau hanya dalam angan. Dia membelai rambutku dengan tulus penuh kasih. Dipeluknya tubuhku yang ringkih. Kala seribu hujatan menyerbu, tangan halusnya senantiasa mengusap lembut pipiku, membuatku merasa lebih tenang. Tapi sekarang, itu semua tak ada. Hanya menjadi kenangan indah bersamanya. Yang tersisa tinggallah penyesalan.
“Takdir,” ucapnya saat terakhir menatap lekat padaku. Hanya uraian air mata yang bisa kupersembahkan padanya. Ribuan kata yang kususun rapi dalam otakku lenyap begitu saja. Mulutku terkunci rapat bersama gemuruh rasa penyesalan yang bergejolak di dada.
“Aku menyesal, aku benar-benar menyesal atas semua perbuatanku. Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri ....” Aku merintih menahan rasa perih yang tiba-tiba bersarang di hatiku. Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku di saat-saat terakhir.
Hingga sekarang, rasa penyesalan itu masih kuat melekat. Jika bisa, ingin kuputar waktu dan memperbaiki kesalahanku. Tapi, aku tahu itu mustahil. Tak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang. Hanya bisa menangis menahan rindu dan penyesalan ketika malam menyapa. Sebagai penggantinya, setiap hari selalu kupandangi wajah yang tersenyum manis dalam bingkai foto berukuran jumbo di dinding kamarku. Namun, ternyata itu sama sekali tak cukup mengobati rinduku. Semakin menatap wajah itu, semakin menggunung saja rasa rinduku.
       Suasana sepi tiba-tiba menyergapku. Benar-benar hening. Tersadar, ternyata aku memang benar-benar sendiri disini. Duduk bersimpuh di atas basahnya rumput hijau karena embun.
           “Kenapa harus aku yang mengalami ini?” aku berbisik lemah.
          “Aku tau, aku memang berdosa, tapi kenapa Tuhan harus menghukumku seperti ini?” aku mulai terisak perlahan.
        “Maafkan aku sudah membuatmu menderita karenaku. Maafkan aku sudah menyakiti hatimu. Aku memang durhaka. Andai kau tau, aku sangat menyesal. Kembalilah padaku! Aku benar-benar merindukanmu, Ibu ....” Aku merintih pada gundukan tanah merah di depanku. Namun ia hanya terdiam mendengar aduanku.

========== THE END ==========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Desain Cover