Bukan
salah siapa-siapa aku begini. Kekonyolan tingkah lakuku memang tak bisa
dikendalikan. Orang bilang aku ababil, yang
akhirnya membuatku terpuruk. Selama sembilan belas tahun perjalanan hidupku,
baru kali ini kurasakan perasaan hampa mahadahsyat seperti ini. Hanya sendiri
berdiri di tengah luasnya jagad raya. Bertumpukan kerapuhan jiwa.
Terombang-ambing pada lautan kehidupan yang makin mengganas. Tanpanya aku bagai
putik dandelion yang terbawa angin.
Pagi ini kucoba membuka kembali
lembaran-lembaran usang dalam memoriku. Masih terekam jelas walau berselimutkan
debu dusta dan durhaka. Manisnya masih terasa walau hanya dalam angan. Dia
membelai rambutku dengan tulus penuh kasih. Dipeluknya tubuhku yang ringkih.
Kala seribu hujatan menyerbu, tangan halusnya senantiasa mengusap lembut
pipiku, membuatku merasa lebih tenang. Tapi sekarang, itu semua tak ada. Hanya
menjadi kenangan indah bersamanya. Yang tersisa tinggallah penyesalan.
“Takdir,” ucapnya saat terakhir
menatap lekat padaku. Hanya uraian air mata yang bisa kupersembahkan padanya.
Ribuan kata yang kususun rapi dalam otakku lenyap begitu saja. Mulutku terkunci
rapat bersama gemuruh rasa penyesalan yang bergejolak di dada.
“Aku menyesal, aku benar-benar
menyesal atas semua perbuatanku. Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri ....”
Aku merintih menahan rasa perih yang tiba-tiba bersarang di hatiku. Hanya
kata-kata itu yang keluar dari mulutku di saat-saat terakhir.
Hingga sekarang, rasa penyesalan itu
masih kuat melekat. Jika bisa, ingin kuputar waktu dan memperbaiki kesalahanku.
Tapi, aku tahu itu mustahil. Tak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang. Hanya
bisa menangis menahan rindu dan penyesalan ketika malam menyapa. Sebagai
penggantinya, setiap hari selalu kupandangi wajah yang tersenyum manis dalam
bingkai foto berukuran jumbo di dinding kamarku. Namun, ternyata itu sama
sekali tak cukup mengobati rinduku. Semakin menatap wajah itu, semakin
menggunung saja rasa rinduku.
Suasana sepi
tiba-tiba menyergapku. Benar-benar hening. Tersadar, ternyata aku memang
benar-benar sendiri disini. Duduk bersimpuh di atas basahnya rumput hijau
karena embun.
“Kenapa harus aku yang mengalami ini?” aku berbisik
lemah.
“Aku tau, aku memang berdosa, tapi
kenapa Tuhan harus menghukumku seperti ini?” aku mulai terisak perlahan.
“Maafkan aku sudah membuatmu
menderita karenaku. Maafkan aku sudah menyakiti hatimu. Aku memang durhaka.
Andai kau tau, aku sangat menyesal. Kembalilah padaku! Aku benar-benar
merindukanmu, Ibu ....” Aku merintih pada gundukan tanah merah di depanku.
Namun ia hanya terdiam mendengar aduanku.
==========
THE END ==========
Tidak ada komentar:
Posting Komentar