Social Icons

Senin, 10 September 2012

Kado Terakhir untuk El

Pelangiku tersenyumlah
            Izinkan aku sejenak menikmatinya
            Agar esok ketika kau pergi
            Aku takkan menangisimu lagi

          Alunan merdu lagu yang selama ini mampu menggesek dawai-dawai hatiku itu, kini menyibak kembali masa lalu. Masa di mana El menciptakan lagu itu untukku. Lagu yang merupakan hadiah untuk tiga tahun masa kebersamaan kami berdua. Aku ingat betul bagaimana El untuk pertama kalinya menyanyikan lagu itu di depanku. Dengan gitar kesayangannya, ia mulai merampas seluruh perhatianku. Telingaku tak melewatkan satu melodi pun yang meluncur dari gitar miliknya. Aku menyebutnya harmoni yang romantis. Meski kuakui aku ini buta nada, namun dengan sabar El menuntunku memahami nada dalam setiap bait liriknya.

***
      “Fida, apa kau yakin akan bisa terus bersamaku?” tanya El padaku sambil memeluk gitar kesayangannya.
            “El, apa tiga tahun belum cukup untukku membuktikannya padamu?” Mataku beralih pada ruang di balik jendela kaca kamar El. Di sana berjejer koleksi gitar El, mungkin sudah mencapai puluhan. Di sana ada juga satu gitar berwarna putih yang sengaja El taruh di tempat paling tinggi. Katanya supaya orang-orang bisa tahu kalau itu adalah gitar terbaik miliknya. Padahal itu gitar murahan yang kubeli dari teman kakakku beberapa waktu lalu sebagai hadiah ulang tahunnya. Ah, El memang pandai menyenangkan hatiku.
            Mataku beralih lagi pada El, memandangnya lekat. Tak terasa lelehan air hangat merembes di pipiku, terus turun sampai menetes di baju putihku.  Aku menahan isakku agar tak terdengar oleh El. Namun percuma, El selalu tahu.
            “Kenapa menangis?” tanyanya lagi. Tatapan matanya kosong ke arahku.
            “Siapa yang menangis?”
            “Kamu tak bisa bohong dariku!” desaknya. “Apa kau menyesal?” lanjutnya.
            “Tidak. Bukan itu,”
         Aku beranjak dari tempat dudukku. Mendekati jendela yang menghadap tepat pada sungai di belakang rumah El. Sungai itu terlihat tenang, namun tak bisa menenangkan hatiku.
          “Aku sama sekali tak menyesal. Bahkan aku bahagia bisa mengenalmu. Kau adalah satu-satunya lelaki yang bisa mengetuk pintu hatiku.” Air mataku semakin deras meluncur di pipi.
          “Kau tahu aku tak sempurna, tapi kenapa kau masih tetap bertahan?” Matanya masih menatap kosong pada tempatku duduk tadi.
           “Manusia itu tak ada yang sempurna, aku pun juga. Tapi, dirimu adalah yang terbaik bagiku.” Mataku beralih lagi pada sosok El yang masih memeluk gitarnya. Dia tampak begitu sempurna di mataku. Orang lain pun pasti akan bilang El adalah orang yang sempurna kalau belum tahu bahwa sebenarnya ada yang “kurang” dalam dirinya. Orang takkan menyangka kalau pencipta lagu terkenal yang sering mereka dengarkan di radio itu adalah seorang tunanetra. Ah, aku tak bisa membayangkan reaksi mereka ketika mendapati kenyataan itu.
         Bertahun-tahun El hidup dalam “kegelapan”, namun itu tak lantas memaksanya untuk berhenti berkarya. Beberapa lagu hits telah ia ciptakan dan menjadi lagu andalan band-band ternama. Namun, karena “kekurangannya” itu, ia tak pernah mau tampil di hadapan publik. Malu, begitulah katanya. Ia pernah bilang padaku bahwa impiannya adalah dapat melihat indahnya dunia dan terus berkarya tanpa harus “sembunyi”.
            “Lalu, kenapa kau menangis?” desaknya lagi.
           “Ah, tak apa. Aku menangis karena bahagia. Bahagia bisa menjadi bagian dari hidupmu,” jawabku berbohong. Aku takkan mampu mengatakan apa yang sebenarnya telah membuatku meneteskan air mata. Kuremas-remas kertas vonis dokter tentang penyakitku yang sedari tadi kugenggam. Cukup aku saja yang mengetahuinya, El tak perlu.

***
            Pelangiku tersenyumlah
            Izinkan aku sejenak menikmatinya
            Agar esok ketika kau pergi
            Aku takkan menangisimu lagi

            Lagu itu masih mengalun lewat earphone yang terpasang di handphone-ku. Meski lagu itu sudah kudengar berkali-kali selama setahun belakangan ini, tapi ternyata telingaku belum bosan. Lagu itu masih menjadi favoritku. Terlebih ketika El sendiri yang menyanyikannya untukku.
            Aku terbaring lemas tanpa El di sisiku. Aku masih merahasiakan vonis dokter setahun lalu darinya. Aku berusaha agar tak membuatnya sedih karenaku. Satu bulan lagi adalah hari ulang tahunnya, rencananya aku akan memberikan sesuatu yang istimewa padanya. Beberapa menit lalu aku sudah menitipkannya pada dokter yang selalu merawatku di sini. Meski aku tak dapat hadir saat hari ulang tahunnya itu, namun mataku yang akan menggantikannya. Itu adalah kado terakhir dariku untuknya, semoga melalui mataku ini ia bisa menggapai mimpi-mimpinya, walau tanpa diriku di sisinya.

========== THE END ==========

3 komentar:

  1. semoga sukse GAnya Mbak....

    BalasHapus
  2. cerpennya keren mbak ...
    sukses GSAnya ya ...

    BalasHapus
  3. WOW ... dramatis. Berjuang demi cinta -__-"
    Makasih, Mbak :)

    BalasHapus

Jasa Desain Cover