Kinanti,
gadis desa dengan kecantikan bak seorang bidadari. Kulitnya putih mulus laksana
mutiara yang belum tersentuh tangan-tangan nista. Perawakannya tinggi dan
langsing mengalahkan model tingkat ibukota. Setiap dia berjalan kemanapun tak hentinya
mata-mata sang kumbang melirik, bahkan tak sedikit pula yang mengajaknya
berkenalan. Tapi, mereka hanya akan mendapatkan seuntai senyum manis Kinanti
sambil lalu. Sepertinya memang tak ada harapan bagi mereka untuk mendapatkan
kembang desa yang satu itu.
Sejak kecil Kinanti memang telah
diajarkan prinsip-prinsip agama yang dianutnya. Tak ada kedekatan antara
laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan muhrim. Tak ada lirik sana lirik sini,
berjabat tangan pun tak ada. Sampai saat ini pun Kinanti masih memegang teguh
apa yang telah menuntunnya ke jalan yang mulia itu. Sebenarnya dalam hati
Kirana telah menantikan seorang pemuda yang dengan berani datang pada kedua
orang tuanya untuk meminangnya. Seorang pemuda yang dapat menjadi imamnya,
seorang pemuda yang mencintai dirinya karena Allah. Tapi, sampai saat ini pun
pemuda yang dimaksud belum juga mampir ke kehidupannya.
Saat ini Kinanti telah lulus kuliah
dan telah memperoleh gelar S,Ag. Kegiatan sehari-harinya adalah mengajar di
salah satu SD di dekat rumahnya. Walaupun masih menjadi pengajar honorer, tapi
semangatnya tak pernah padam dalam membagi ilmunya pada anak-anak didiknya.
Setiap pagi Kinanti selalu berjalan
kaki menyusuri jalan di desanya untuk dapat sampai di tempat dia mengajar.
Setiap pagi pula para pemuda di desanya selalu menantikannya di depan rumah
mereka masing-masing. Sambil bersiul-siul genit.
“Suit..suit... Hai Kinanti! Nanti
malam ikut abang nonton yuk!” Sapa seorang pemuda ketika Kinanti berangkat
kerja.
“Maaf, Bang! Kinanti nggak bisa. Permisi, Assalamu’alaikum!”
Begitulah jawaban Kinanti yang selalu dia lontarkan ketika ada pemuda yang
mengajaknya keluar.
“Ah, suka jual mahal deh si eneng
ni!” balas pemuda itu agak kesal. Tapi, hanya dibalas dengan seuntai senyum
manis Kinanti.
Sudah sering Kinanti mengalami
kejadian seperti itu. Dan tak banyak pula pemuda yang akhirnya kesal pada
jawaban Kinanti yang selalu sama, tapi anehnya mereka belum menyerah juga.
Kinanti lalu mempercepat jalannya
untuk menghindari pemuda lain yang ingin menggodanya. Tapi, tanpa di sadarinya
di perempatan dekat SD Kinanti berpapasan dengan seorang pemuda tampan.
“Assalamu’alaikum Kinanti!” sapa
pemuda itu.
“Wa’alaikumussalam, eh Bang Rizal!”
jawab Kinanti. Ya, pemuda itu bernama Rizal, masih satu desa dengan Kinanti
juga merupakan senior Kinanti di kampunya dulu.
Rizal, pemuda yang tampan. Tak
sedikit pula gadis di desa maupun di tempat kuliahnya dulu yang menaruh hati
pada Rizal. Tapi, sama halnya dengan Kinanti, Rizal selalu berlaku cuek terhadap
mereka.
“Mau ngajar ya?” tanya Rizal.
“Iya, Bang. Bang Rizal sendiri mau
berangkat kerja ya?” tanya Kinanti sambil tersipu malu. Entah kenapa setiap
bertemu Rizal, Kinanti tak dapat menyembunyikan perasaan malunya yang entah
berasal dari mana. Rizal pun demikian, setiap bertemu Kinanti selalu salah
tingkah dan sama-sama tak berani beradu mata, karena memang seharusnya itu
dilarang.
“Ya udah saya pamit dulu ya, takut
telat. Assalamu’alaikum.” Begitulah Rizal berpamitan pada Kinanti yang langsung
dijawab oleh Kinanti.
“Wa’alaikumussalam.”
Lalu keduanya berpisah, itulah
rutinitas Kinanti setiap pagi. Walaupun sebenarnya kesal karena selalu digoda
para pemuda di desanya, tapi entah mengapa Kinanti selalu merasa senang kalau
bisa bertemu Rizal. Perasaan itu sudah dirasakan sejak pertama kali bertemu
Rizal di kampus, begitu pula dengan Rizal. Tapi, mereka berdua tidak berani
mengumbar perasaan itu satu sama lain, yang ada ya hanya kejadian seperti tadi
itu. Saling sapa dengan malu-malu.
Rizal, ya dialah yang telah mencuri
hati Kinanti selama ini. Sebenarnya Kinanti sangat menginginkan pemuda seperti
Rizal untuk dapat menjadi imamnya kelak. Rizal pun demikian, tapi belum ada
keberanian dalam dirinya untuk datang pada orang tua Kinanti dan meminangnya.
Tapi, dalam hati Rizal akan secepatnya menemui orang tua Kinanti. Dengan bekal
keyakinan dan keimanannya pada Allah, dia akan memberanikan diri meminang
Kinanti. Jikalau pun ada penolakan dari Kinanti, Rizal sudah siap. Semuanya
sudah dipersiapkan olehnya.
Hari ini adalah hari Minggu. Dimana
kebanyakan orang menggunakan hari ini untuk bisa berkumpul bersama keluarga
mereka setelah enam hari bergelut dengan kegiatan mereka masing-masing.
Begitupun dengan Kinanti, hari ini ia tidak pergi kemana-mana. Pagi ini suasana
cerah sekali, dengan langit biru yang diselingi awan putih. Tak ketinggalan
sinar mentari yang dengan gagah berani menerangi seluruh jagad raya.
Memancarkan kehangatan bagi makhluk-makhluk di bumi.
Kinanti tengah asyik menyelesaikan
pekerjaan menyulamnya ketika ada suara orang mengucap salam dari depan
rumahnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Kinanti
yang berbarengan dengan ibunya.
“Kinanti, coba kau lihat, siapa itu
yang diluar!” ucap ibunya.
“Iya Bu, sebentar.” Kinanti menghentikan
pekerjaannya dan bangkit dari tempat duduknya yang berada di ruang tengah.
Ketika sampai di ruang depan dan melihat siapa yang ada di sana, Kinanti tak
dapat menyembunyikan kekagetannya.
“Lho? Bang Rizal? Mau cari siapa
Bang?” tanya Kinanti salah tingkah.
“Aku kesini mau cari ayah kamu.
Beliau ada?” jawab Rizal.
“Oh iya, ada. Silahkan masuk dan
duduk dulu! Saya panggilkan ayah sebentar ya.” pamit Kinanti.
Dengan langkah yang terburu-buru dan
fikiran yang tak menentu, Kinanti mencari ayahnya yang ada di kebun belakang
rumah. Dadanya berdesir dan jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Ada apakah ini? Tanyanya dalam hati.
“Ayah....” Kinanti menemukan ayahnya
tengah mencangkok pohon mangga yang berada di kebunnya.
“Ada apa Kinanti?” tanya ayahnya
penasaran.
“Mmm...dicari Bang Rizal, Yah!”
“Ada keperluan apa ya?”
“Kinanti kurang tau, Yah. Coba Ayah
temui dulu!”
Ayah Kinanti kemudian bergegas
mencuci tangannya dan menemui Rizal di ruang depan yang ternyata sudah ada
bersama ibu Kinanti. Sedangkan Kinanti sibuk membuat minuman untuk Rizal.
“Ada apa ya Nak Rizal mencari saya?”
tanya ayah Kinanti to the point.
“Begini Pak, ada yang perlu saya
bicarakan sama Bapak.” jawab Rizal dengan sopan.
“Iya, silakan saja!”
“Sebelumnya maafkan saya, kalau saya
lancang datang kesini. Sebenarnya, kedatangan saya kesini adalah untuk melamar
putri Bapak, Kirana.”
Deg.... Kirana yang mendengar itu
dari balik pintu sambil membawa nampan berisi 2 cangkir teh dan sepiring roti
serasa melayang entah kemana. Tangannya gemetaran dan keringat mulai muncul
dari dahinya yang tertutup kerudung putih, sampai-sampai kerudungnya terlihat
basah. Mulutnya terkunci rapat dan matanya nampak berkaca-kaca.
Hening mulai memenuhi ruang depan
setelah Rizal selesai mengucapkan kalimatnya yang terakhir. Ayah Kinanti pun
terlihat tak bisa berkata apa-apa saking kagetnya. Dia tak menyangka bahwa
putrinya kini telah beranjak dewasa dan sudah ada pria yang ingin mengambil
alih tanggung jawabnya melindungi sang putri tercinta.
“Yah, saya tidak bisa menjawab
lamaran kamu sebelum ada persetujuan dari putri saya.” Akhirnya kalimat ayah
Kinanti itulah yang memecah keheningan di ruang itu.
“Kinanti....kesini sebentar Nak!”
panggil ayah Kinanti.
“I-iya, Yah, sebentar!” jawab
Kinanti sambil mengusap air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya yang putih
bersih.
Kinanti berjalan dengan tangan masih
bergetar menghampiri ayahnya sambil membawa nampan. Sambil tertunduk malu,
Kinanti meletakkan nampannya di meja dan menyuguhkan minuman serta kue pada
Rizal.
“Bagaiman Kinanti? Ayah yakin tadi
kamu sudah mendengar semua percakapan kami. Ayah serahkan semua keputusan
padamu, ayah hanya tinggal merestui pilihanmu saja.” tawar ayahnya.
Lama kinanti tak menjawab.
Pikirannya kosong, melayang entah kemana. Tak sadar Kinanti pelan tapi pasti
menganggukkan kepalanya. Terpancar wajah cerah Rizal yang dengan malu-malu
meliriknya sedari tadi. Alhamdulillah. Ucap
batin Rizal. Ayah dan ibu Kinanti pun mengembangkan senyum mereka, terharu.
“Baiklah, kita sudah mendengar
jawaban Kinanti. Nak Rizal, secepatnya kamu bawa kedua orang tua kamu kesini
untuk secara resmi melamar putriku, sembari nanti kita tentukan tanggal
pernikahan kalian. Lebih cepat lebih baik.” Kata ayah Kinanti penuh semangat.
“Iya Pak, insyaAllah tiga hari lagi
saya akan bawa orang tua saya.”
Begitulah, hari itu Kinanti merasa
menjadi orang yang paling bahagia di muka bumi. Senyum manis tak henti-hentinya
menghiasi wajahnya yang cantik jelita. Semburat merah merona tak ketinggalan
menghinggapi pipinya putih bersih. Kinanti merasa impiannya selama ini telah
dikabulkan oleh Allah. Ucapan syukur pun tak henti ia ucapkan.
Sehari sebelum lamaran resmi.
Hari ini Kinanti berencana pergi ke
kota untuk membeli keperluannya mengajar. Senyum masih menghiasi wajahnya,
malah semakin berseri saja. Sampai-sampai ibu Kinanti heran dibuatnya. Tak
pernah ibunya melihat putri satu-satunya sebahagia itu.
“Nak, apa perginya tidak bisa
setelah lamaran saja?” tanya ibu Kinanti saat Kinanti berpamitan.
“Nggak
apa-apa kok, Bu. Lagi pula barang-barang harus segera Kinanti dapatkan sebelum
kehabisan lagi.” Jawab Kinanti.
“Ya sudah, kamu hati-hati di jalan
ya, Nak!” pesan ibunya.
“Iya, Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Kinanti pun berangkat ke kota dengan
berjalan kaki sampai jalan besar dan dilanjutkan dengan naik angkutan kota
jurusan Kota Baru. Langkahnya penuh semangat menyusuri jalan setapak penuh batu
di desanya. Panas terik matahari seakan takkan mampu menghentikan langkahnya. Langkah
semangat seorang guru yang sangat mencintai murid-muridnya sehingga rela
menempuh jarak yang begitu jauh untuk menyenangkan para muridnya.
Tak terasa semangatnya telah
mengantar Kinanti sampai ke tempat tujuan. Segera ia mencari apa yang ia
perlukan dan buru-buru pulang agar tak kemalaman dan membuat ibunya khawatir.
Tapi, harapannya tak sesuai dengan kenyataan. Hari sudah semakin senja dan ia
belum juga mendapatkan kendaraan untuk kembali pulang ke desanya. Sudah
berjam-jam Kinanti menunggu angkutan kota yang lewat, tapi tak satupun yang
muncul. Akhirnya, Kinanti terpaksa berjalan kaki setelah mengerjakan sholat
Ashar di masjid terdekat. Tapi, Kinanti bersyukur hari ini tidak turun hujan,
sehingga tak masalah buatnya untuk berjalan kaki.
Setelah kira-kira satu jam ia
berjalan, dari jauh terdengar suara adzan Maghrib. Bergegas Kinanti mencari
masjid terdekat untuk menunaikan kewajibannya. Segera Kinanti mengambil air
wudhu. Tetes demi tetes wajahnya dibasuh air wudhu, terasa kesejukan
menghinggapi relung kalbunya. Ketenangan mulai menghinggapi jiwanya. Seakan tak
ada yang perlu ia khawatirkan, hidupnya kini hanya milik Tuhan pencipta alam
semesta.
Setelah menunaikan kewajibannya,
Kinanti kembali menyusuri jalan kota yang berangsur-angsur diselimuti kegelapan
malam. Semakin lama kakinya terasa semakin pegal, serasa tak kuat lagi
berjalan. Peluh pun mulai merayapi seluruh tubuhnya. Disaat seperti itulah,
tiba-tiba ada suara seseorang menghampirinya.
“Neng, ojek Neng!” tawar orang itu
sambil menjajari langkah Kinanti dengan motornya.
“Nggak
usah, Bang! Saya naik angkutan kota saja.” tolak Kinanti.
“Waduh Neng, kalau sudah jam segini nggak ada lagi angkot yang lewat.
Mendingan sama saya aja, dijamin aman sampai rumah deh. Bagaimana?” tukang ojek
itu tak mau menyerah. Kinanti mulai memikirkan kata tukan ojek itu. Benar juga ya, jam segini mana ada lagi
angkot yang lewat?
“Baiklah Bang. Tolong antar saya ke
desa ya!” pinta Kinanti.
“Siap, Neng.” Dengan girang tukang
ojek itu memberikan helm pada Kinanti dan siap melajukan motornya di tengah
kegelapan malam.
Motor itu mulai menyusuri jalan
gelap pinggir kota. Tak ada lampu atau penerangan apapun selain lampu motor.
Juga tak ada seorang pun yang melintasi jalan itu. Rasa curiga dan takut
tiba-tiba menghinggapi Kinanti.
“Kok sepi sekali ya, Bang? Apa benar
jalan ini bisa sampai ke desa?” tanya Kinanti mulai ragu. Tapi, tukang ojek itu
diam tak bersuara, malah mulai memelankan laju motornya.
“Kenapa, Bang?” tanya Kinanti mulai
gemetaran. Dalam hati ia berdzikir terus pada Allah, meminta-Nya untuk selalu
memberi perlindungan pada hamba-Nya.
Tiba-tiba tukang ojek itu pun
menghentikan motornya. Berbalik menghadap pada Kinanti dan membekapnya. Selang
beberapa menit Kinanti sudah tak sadarkan diri. Selanjutnya, yang terjadi
adalah perlakuan bejat tukang ojek bak binatang pada Kinanti. Setelah puas
menyalurkan nafsunya pada Kinanti, tukang ojek itupun pergi begitu saja
meninggalkan Kinanti yang masih tak sadarkan diri.
Saat terbangun kepala Kinanti terasa
berat. Tubuhnya serasa remuk tak dapat digerakkan. Matanya mulai mencari-cari
cahaya ditengah kegelapan malam. Dan sedetik kemudian ia baru menyadari apa
yang baru saja terjadi pada dirinya. Matanya mulai menerawang kosong.
Butiran-butiran bening berjatuhan di pipinya yang masih tetap putih bersih
walau dirinya telah ternoda. Ia merasa seakan dirinya bagai seonggok daging
yang sangat kotor, najis. Samar-samar terlintas wajah Rizal di benaknya. Seketika
perasaan takut dan malu menghinggapi dirinya. Bagaimana bisa Rizal bisa menerimanya
dengan keadaan seperti ini? Apa juga yang harus dikatakan pada kedua orang
tuanya? Lalu bagaimana masa depannya kelak? Adakah orang yang mau dengan gadis
kotor sepertinya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menghantui pikirannya
saat ini.
Dengan langkah terseok-seok dan baju
masih tak beraturan, Kinanti menyusuri jalan-jalan gelap menuju desanya.
Pikirannya masih kosong, ia masih tak tau apa yang harus ia lakukan. Tapi,
dengan langkah pasti, ia berjalan menuju rumahnya.
“Assalamu’alaikum.” Kinanti mengucap
salam sambil sesenggukan.
“Wa’alaikumussalam.... Ya Allah,
Kinanti! Apa yang terjadi padamu Nak?” Ibu Kinanti langsung memeluk anak semata
wayangnya itu dengan erat. Kinanti menumpahkan semua air matanya di pelukan
sang ibu. Sedangkan ayah Kinanti hanya terdiam di tempat.
Setelah mulai agak tenang, Kinanti
mulai menceritakan musibah yang baru saja menimpanya. Reaksi orang tua Kinanti?
Jelas, mereka sangat shock dan belum
bisa menerima kejadian tersebut. Ibu Kinanti kembali memeluk anak kesayanganny
itu sambil meneteskan air mata. Sedang ayah Kinanti masih terdiam dan matanya
terlihat kosong. Walau sebenarnya hancur, tapi ayah Kinanti berusaha
menenangkan putrinya itu. Ia berpikir bahwa itu adalah cobaan yang diberikan
Allah pada keluarganya atau mungkin adalah sebuah peringatan. Ia hanya bisa
bersabar dan tabah menghadapinya. Soal Rizal? Kinanti dan keluarganya berniat
menceritakan apa yang baru saja dialami Kinanti padanya. Setelah itu, mereka
serahkan semuanya pada Rizal dan akan menerima keputusannya.
Pagi yang ditunggu pun datang.
Pagi ini, seharusnya menjadi pagi
yang indah bagi Kinanti. Tapi, berubah menjadi pagi yang menyeramkan setelah
kejadian tadi malam. Sejak semalam, Kinanti tak henti-hentinya menangis. Bahkan
sampai tak mengindahkan nasihat ayah dan ibunya. Dia masih merasa jijik dengan
dirinya sendiri. Ia merasa tak pantas lagi untuk hidup.
Sejam kemudian tamu yang tak ingin
Kinanti temui akhirnya datang juga, Rizal. Kinanti masih tak mau keluar kamar
dan kedua orang tuanya pun memaklumi hal itu. Samar-samar Kinanti mendengar
perbincangan kedua orang tuanya dengan keluarga Rizal.
“Begini Nak Rizal, sebenarnya ada
yang mau Bapak sampaikan pada Nak Rizal dan keluarga.”
“Iya Pak, silakan.”
“Sebenarnya tadi malam, ada peristiwa
yang membuat keluarga kami terpukul, terutama Kinanti. Sebuah musibah yang
mungkin adalah hal yang memalukan bagi kaluarga kami. Jika nantinya Nak Rizal
dan keluarga mau membatalkan lamaran ini, saya bisa mengerti dan akan saya
terima.” Jelas ayah Kinanti.
“Memangnya apa yang sudah terjadi
pada Kinanti, Pak?” tanya Rizal penasaran.
“Mmm...sebenarnya..tadi malam
Kinanti mengalami musibah yang tidak kami duga sebelumnya, dan sama sekali
tidak kami inginkan. Kinanti kehilangan kesuciannya.”
Deg... Kinanti serasa ingin pergi
saja dari dunia ini, mendengar kata-kata ayahnya pada Rizal. Kinanti tidak siap
dengan apa yang akan dikatakan Rizal selanjutnya. Suasana di ruang tamu menjadi
hening setelah ayah Kinanti mengungkapkan semuanya. Rizal terdiam cukup lama,
pun kedua orang tuanya. Tapi, tiba-tiba tanpa dinyana dan diduga, Rizal
menampakkan segores senyum di wajahnya dan tak ada keraguan sedikitpun, ia
mengatakan:
“Saya mencintai Kinanti karena Allah
Ta’ala. Jadi, saya akan tetap menerima Kinanti apa adanya.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~